Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Santri Al-Munawwir Diskusikan Najis Lewat Musyawarah Kubro

Suasana Musyawarah Kubro Fathul Qorib

Musyawarah Kubro perdana Tahun Ajaran 1445—1446 H, yang merupakan salah satu agenda Madrasah Diniyyah Salafiyah IV, yang berada di bawah naungan Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Komplek L telah diselenggarakan pada Jum’at malam (28-06) di Mushola Al-Mubarok.

Pada mulanya, tradisi musyawarah di Komplek L sudah ada sejak berdirinya Madrasah Diniyyah Salafiyah IV, tetapi berjalannya waktu, musyawarah dibuat lebih sistematis dan terstruktur dengan membentuk Lembaga Semi Otonom (LSO) At-Tihami pada tahun 2023. Hal ini agar semua santri Madrasah Diniyyah Salafiyah IV dapat merasakan pengalaman musyawarah secara langsung.

Pertama kali dilaksanakan pada tahun 2023, Pengurus Madin Salafiyyah IV menyadari kurangnya wadah santri untuk membagikan dan mengungkapkan materi yang didapat di dalam kelas sehingga lahirlah kegiatan tersebut. Acara ini dikuti oleh segenap santri Madrasah Diniyyah Salafiyah IV yang mukim dan nonmukim. Pada kesempatan tersebut, perwakilan Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Al-Munawwir Pusat turut juga meramaikan.

Tema yang diusung Muskub sesuai urutan bab dari kitab Fathul Qorib, karangan Syekh Ibnu Qosim Al-Ghozi, yang pada tahun ajaran lalu telah sampai pada bab “Mashu ‘alal khuffain” (Mengusap Dua Muzah). Kemudian, pada tahun ini dilanjut bab “Najasat wa Izalatiha” (Najis-najis dan Tata Cara Menghilangkannya).

Para santri turut serta aktif ketika moderator, Al Mu’tasim Billah membuka acara. Mereka saling mengutarakan argumen beserta dalil yang telah dipersiapkan. Adapun persoalan yang dibahas pada malam itu adalah tentang persoalan asap pembakaran najis dan prasangka atas najis.

Tentang Musyawarah

Menurut Khoiru Ulil Abshar, Pengurus LBM Al-Munawwir Pusat, memberikan komentar terkait persoalan musyawarah, “Imam Az-Zarkasy pernah mengatakan, ‘Setengah dari pikiranmu atau ilmumu ada pada temanmu.’.” Dengan demikian, dengan adanya musyawarah pemahaman seseorang akan saling melengkapi satu sama lain.

Ada sebuah identitas santri yang sering terlihat di pesantren mana saja. Pertama, qolbun salimun ‘hati yang bersih’ dan kedua, istifadah ‘mengambil pelajaran’. Santri yang sering disapa Ulil tersebut menjelaskan santri ketika menghadiri majlis ilmu ada yang tujuannya untuk menyerap ilmu dari majlis tersebut. Ada juga yang menghadiri majelis ilmu untuk menggugurkan kewajiban. “Dirinya tidak memerdulikan hasil atau ilmu yang akan diperoleh jika dia mendengarkannya,” tutur demisioner Ketua LSO At-Tihami itu.

Perlunya musyawarah dalam setiap lembaga pendidikan, terutama pesantren, terletak dalam rangka menyempurnakan pemahaman atau ilmu. Mereka (para santri), tutur Ulil dalam strata atau tingkat pemahamannya sendiri, ada tiga kategori, satu bandongan, yaitu santri dibacakan kitab oleh kyai. Kedua, sorogan yaitu santri membacakan materi kepada kyai. Ketiga, musyawarah, santri mengutarakan argumen masing-masing dengan berlandaskan dalil-dalil yang dinukil dari kitab-kitab salaf “kitab kuning”.  


Reporter: M. Qomaruz Zaman

Editor: Fahri Reza M.

Leave a Comment