Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Fikih: Antara Qur’an-Sunah atau Madzhab?

Gambar oleh Md Jihad Hossen dari Pixabay

Salah satu tema perdebatan yang terus bergaung semenjak satu milenium terakhir adalah “Kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah”. Telah banyak argumen yang mengkritisi kerancuan konsep tersebut, namun kampanye tersebut tak lantas berhenti, malah berkembang luas, terutama di kanal-kanal media sosial.

Satu di antara miskonsepsi yang timbul sebab pemahaman ini adalah bermazhab dengan mazhab fikih (bahkan yang mu’tabar dan masyhur sekalipun) berarti meninggalkan Al-Qur’an dan Sunah. Term-term seperti “ikut nabi atau Imam As-Syafi’i” atau “ikut mazhab atau pemahaman sahabat” merupakan bukti masifnya kampanye ini.

Pada masa awal perkembangan fikih madzhab, terdapat madrasah ahl al-ra’yi (Baghdad) dan madrasah ahl al-hadits (Madinah). Kedua aliran ini dilatarbelakangi oleh banyak hal sehingga konsekuensinya, kesimpulan hukum banyak yang berbeda. Seperti yang telah diketahui, kedua aliran tersebut dapat dikombinasikan dengan baik oleh generasi setelahnya yang dimotori oleh Imam As-Syafi’i sehingga beliau diberi gelar Bapak Konstitusi Hukum Islam. Mazhab-mazhab yang lahir dari proses semacam ini tentu sudah melalui proses yang ketat sehingga melahirkan pondasi hukum yang sangat berpengaruh bagi generasi setelahnya.

Berbeda dengan perkembangan fikih melalui proses di atas, alih-alih mengelaborasi, slogan “Kembali pada Al-Qur’an dan Sunah” justru berpotensi mereduksi bangunan keilmuan mazhab yang sudah tersusun selama berabad-abad. Suatu kekeliruan besar apabila dalam perkara syariat dikotak-kotakkan jadi aliran Al-Qur’an dan Sunah, dan di sisi yang berlawanan aliran mazhab fikih. Kesimpulan semacam ini berangkat dari pemahaman awal keliru bahwa mazhab-mazhab fikih tidak berdasar dalil dan berupaya menjauhkan umat dari kemurnian ajaran agama.

Masalah Khilafiyah

Sebagai contoh, dalam perkara membatalkan wudu terdapat banyak perbedaan pendapat. Sebagian meyakini bersentuhan kulit antar-ajnabiy membatalkan wudu (Syafi’iyyah), sebagian lagi menambahkan satu syarat, yakni harus dibarengi dengan syahwat (Malikiyyah), sedangkan terdapat pendapat lain bahwa yang membatalkan wudu adalah jimak, bukan bersentuhan kulit (Hanafiyyah). Kesimpulan beberapa hukum tersebut dilatarbelakangi interpretasi yang berbeda terhadap lafal لمستم النساء dalam Al-Qur’an. Ketentuan hukum tersebut, setiap kali kita berbeda pendapat harus dikembalikan pada Allah dan Rasulnya (dalam artian kepada Al-Qur’an dan Sunah). Nah, kira-kira, perbedaan ketiga pendapat di atas, timbul karena jauh dari Al-Qur’an dan Sunah atau karena berusaha untuk kembali kepada Al-Qur’an dan Sunah?

Dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunah tak ubahnya seperti makanan mentah, yang untuk sampai kepada kesimpulan hukum bernama produk fikih maka harus melalui proses yang dinamakan ijtihad.

Dengan demikian, kita tidak bisa mengetahui tata cara thaharah dan shalat secara utuh langsung dari Al-Qur’an dan Sunah karena sama saja memakan makanan mentah. Ketika kita ingin mengetahui cara bersuci dan salat maka yang pertama kali dilakukan adalah membuka kitab-kitab fikih karena kita butuh hasil jadi tanpa harus mengetahui proses memasaknya. Intinya, yang penting bisa dahulu. Kemudian, seiring bejalannya waktu, kita belajar secara bertahap tentang proses memasak bahan mentah tersebut menjadi makanan siap saji yang enak dan bermanfaat.


Penulis: Al Mu’tasim Billah

Editor: Ahmad Najiullah

Leave a Comment