Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Catatan Nashaihul Ibad (2): Mengeluh dan Meminta Kepada Allah

Oleh : Ahmad Najiullah

Nashaihul Ibad
Mengeluh dan meminta kepada Allah dalam keheningan. Foto: Ali Arpoglu/Pexels

Sebagai manusia, mengeluh atas takdir adalah hal yang dimaklumi dan diperbolehkan, selagi tidak BERLEBIHAN. Islam mengatur segala hal termasuk mengeluh. Selain mengeluh, adakalanya manusia juga meminta kepada Allah atas apa yang diinginkan. Terkadang permintaan manusia ini tidak dituruti oleh Allah sehingga membuat mereka mengeluh, lalu timbul pertanyaan, “Bagaimana caranya agar permintaan kita bisa dikabulkan dan mengeluh dengan baik?”

Curhat kepada Allah di sepertiga malam merupakan salah satu jalan untuk mendapatkan petunjuk dari Allah, tetapi hal ini bisa menjadi kurang baik apabila kita menanyakan takdir seperti, “Mengapa atau kenapa hal ini terjadi kepada diri saya?”. Pertanyaan seperti ini banyak dilontarkan oleh umat islam sebagai bentuk ketidakterimaan atas takdir kehidupan.

Menanggapi pertanyaan di atas, Kiai Hafidz Tanwir mengatakan, “Hal ini kurang baik karena secara tidak langsung kita tidak menerima takdir yang sudah Allah tentukan. Bagaimanapun itu adalah hak prerogatif Allah. Tugas kita adalah menjalani dan memohon petunjuk atas kejadian yang sedang menimpa diri kita.” Sebagai seorang yang beriman, sudah sepatutnya bagi kita untuk selalu menerima takdir karena di balik masalah yang menimpa kita ada hikmah yang terkandung di dalamnya. 

“Ketika sedang mempunyai banyak masalah, tidak sedikit dari kita yang menceritakan masalah kepada kerabat dengan tujuan agar bisa mendapatkan jalan keluar ataupun sekadar meringankan unek-unek di kepala. Hal ini diperbolehkan selagi hati hamba tersebut ridho dengan takdirnya,” tutur Buya Hafidz. 

Menjadi pendengar merupakan hal yang dianggap sepele, tetapi hal ini menjadi sangat penting ketika kita menjadi pendengar (teman) orang yang sedang menghadapi banyak masalah. Beberapa orang merasa lebih tenang ketika bisa mencurahkan keluh kesahnya kepada orang lain, terlebih lagi ketika si pendengar mampu merespon dengan baik. Ketika seseorang ingin curhat ke kita, sebisa mungkin kita menerimanya sebagai bentuk empati dan kita juga mendapat kepercayaan dari orang tersebut.

Selain membahas mengenai gersulo atau mengeluh, Buya Hafidz juga membahas mengenai permintaan seorang hamba kepada Tuhannya (doa). Beliau menceritakan tentang Mbah Mundzir. Suatu ketika, Mbah Mundzir kedatangan tamu, kemudian Istrinya menyuguhi air putih. Hal tersebut diketahui oleh Mbah Mundzir dan bertanya, “Kenapa hanya disuguhi air putih?” sang istri pun menjawab, “Teh dan gulanya habis”. Setelah mengetahui jawaban sang istri, beliau langsung berdoa dan sang istri pun mengaminkan, tidak berselang lama ada seseorang datang membawa teh dan gula. 

Hal diatas menjadi bukti bahwa Allah akan mengabulkan permintaan seorang hamba, selagi hamba tersebut: 

Pertama, meminta hal yang dibutuhkan. Seperti cerita di atas, saat itu Mbah Mundzir sangat membutuhkan teh untuk memberi hidangan kepada tamu dan hal tersebut dikabulkan Allah. Salah satu hal yang membuat doa kita tidak dikabulkan ialah karena kita meminta keinginan, bukan kebutuhan. Seperti ada seorang santri yang sedang mengaji kemudian dia berdoa meminta mobil, sepuluh milyar, dan lain-lain–sesuatu yang tidak rasional. Hal inilah yang membuat doa kita tidak dikabulkan. 

Kedua, sopan ketika meminta. Seperti layaknya ingin bertemu dengan orang penting, sebisa mungkin ketika berdoa kita menggunakan pakaian yang sopan dan berwudhu terlebih dahulu. Ini adalah salah satu adab. Kita berusaha untuk merayu Allah terlebih dahulu. Ketika Allah sudah senang dengan kita, maka harapan terkabulkannya sebuah permintaan itu besar. 

Ketiga, jujur ketika berdoa. Sering dilakukan kalangan remaja ketika berdoa supaya mendapatkan uang banyak agar bisa membayar kewajiban seperti kost bulanan, spp kuliah, dan lain-lain, tetapi ketika sudah mendapatkan uang, dia malah mengambil sebagian untuk bersenang senang (mengesampingkan kewajibannya). Hal seperti ini bisa membuat Allah tidak suka dengannya karena dia membohongi Allah dan membohongi orang tua yang telah memberi uang.

Tidak terkabulnya sebuah doa bukan berarti Allah tidak mampu, melainkan belum waktunya. Kita belum pas untuk mendapatkan hal yang kita minta. Permohonan hamba kepada Allah itu ibarat anak kecil yang meminta sesuatu kepada seorang ibu, ketika sang anak meminta pisau, maka seorang ibu tidak akan memberikan karena berbahaya, tetapi ketika anak tersebut sudah dewasa maka sang ibu akan memberikan pisau kepada si anak. Begitupun sama halnya dengan permohonan kita kepada Allah. Allah tahu bahwa hambanya belum pantas untuk mendapatkan apa yang dia inginkan sehingga dikhawatirkan hamba tersebut belum bisa memanfaatkannya dengan baik.  

“Semakin kita meminta sesuatu kepada Allah, maka Allah semakin senang karena namanya sering kita sebut, tetapi terkadang semakin lama kita meminta dan permintaan tersebut tidak dikabulkan membuat kita bosan. Ketika sudah mulai bosan maka sebentar lagi permintaan kita akan segera diwujudkan,” tutur Buya Hafidz. Hal ini berbeda dengan manusia yang merasa risih apabila dimintai sesuatu terlebih lagi ketika diminta secara terus menerus. Jikalau dia memberi, maka kemungkinan besar dia melakukannya secara terpaksa.

“Doa adalah sebuah harapan,” dawuh Buya Hafidz. Seseorang yang berdoa pasti memiliki harapan, seperti diberikan rezeki, ilmu yang bermanfaat, dan hal-hal baik lainnya. Selain itu, berdoa juga sebagai penanda bahwa kita adalah makhluk lemah yang membutuhkan bantuan kepada sang pencipta agar urusan kita bisa dimudahkan. Maka seseorang yang tidak berdoa adalah orang yang sombong (merasa kuat) sehingga tidak membutuhkan bantuan orang lain termasuk Allah.

Leave a Comment