Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Cerita Gus Mus saat Berguru ke Kiai Ali Maksum

“Saya kenal sama Kiai Ali itu saat mondok sini (Krapyak),” kata KH. Ahmad Musthofa Bisri (Gus Mus) saat memulai “dongeng”nya dalam acara haul ke-33 KH. Ali Maksum, di Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta, Rabu (15/12).

Gambar 1. KH. Musthofa Bisri (Gus Mus) dalam Acara Haul KH. Ali Maksum, (15/12/2021).

Sebelum masuk Krapyak, Gus Mus menempuh pendidikan di Sekolah Rakyat (SR) selama 6 tahun. Lalu ke Lirboyo beliau masuk kelas 3 Ibtida’. Dan saat kelas 4 beliau ditarik ayahnya, KH. Bisri Musthofa, dari Lirboyo untuk dibawa ke Krapyak.

Saat masuk Krapyak, Gus Mus ditemui langsung dan diuji oleh Kiai Ali.

“Gus, tau ngaji opo?” (Gus, pernah mengaji apa?)

“Jurumiyyah”

Gus Mus menjawab sekenanya. Beliau mengakui jika saat itu beliau belum pernah mengaji. Tapi beliau putra kiai. Sehingga pernah mendengar nama-nama kitab semacam Jurumiyyah, Imrithy, dan Taqrib.

Kiai Ali sangat sederhana ketika menguji: Gus Mus cuma disuruh menulis surat al-Fatihah. Setelah selesai ditulis, Kiai Ali melihatnya lantas berkomentar dengan nada yang jenaka, “Tulisane apik kok kliru kabeh.” Demikianlah, menurut Gus Mus, ujaran-ujaran Kiai Ali memang lucu.

Gambar 2. Almaghfurllah KH. Ali Maksum.

Setelah itu, Gus Mus dimasukkan kelas 3 Ibtidaiyyah. Beliau bertempat di gedung D. Hal ini berbeda dengan kakaknya, Cholil Bisri, yang sudah Aliyah dan berada di gedung E, gedung yang paling bagus saat itu di Krapyak.

Kemudian, suatu hari, Kiai Bisri datang ke Krapyak dan hendak sowan ke Kiai Ali. Mengingat dulu Kiai Bisri tidak ikut mengantar Gus Mus saat pertama kali datang ke Krapyak.

Iki anakku tak titipno jenengan. Mangke nek gak dadi wong, jenengan kulo tuntut nang yaumul hisab,” canda Kiai Bisri.

Iki anak kulo sampean warahi Al-Fatihah. Mangke nek sholat e ora sah mergo al-Fatihah, jenengan kulo tuntut maleh.” Kiai Bisri dan Kiai Ali memang kawan, sehingga maklum jika candaan tak bisa disingkirkan dalam percakapan di antara keduanya.

Sejak saat itu, Gus Mus diperhatikan betul oleh Kiai Ali. Meski Kiai Ali menyimak ngaji sorogan dari begitu banyak santri, beliau masih sempat-sempatnya memperhatikan Gus Mus, bahkan sampai menekan-nekan, terkadang sampai Gus Mus menangis.

Adapun untuk Al-Qurannya, Gus Mus mengaji kepada Kiai Abdul Qodir Munawwir, saudara Kiai Ali. Di Kiai Qodir, Gus Mus mengaji Al-Fatihah lagi sampai tiga bulan, meski di kampung sebenarnya beliau sudah sampai Adl-Dluha. Tentu ini tak lepas dari pesan Kiai Bisri tadi

Sampai kemudian saat kelas satu Tsanawiyah, Gus Mus mendapat telegram dari rumah, yang berisi pesan agar Gus Mus pulang karena dipanggil-panggil adiknya yang sakit. Dan Gus Mus tidak boleh kembali ke Krapyak sampai adiknya itu sembuh. Lalu kesembuhan itu baru didapatkan setelah tiga bulan, sehingga selama itu pula otomatis Gus Mus tidak bisa sekolah.

Ninggal sekolah 3 bulan kan wis bar. Akhir e ora balek Krapyak,” kelakar Gus Mus.

Setelah memutuskan tidak melanjutkan sekolah, Gus Mus daftar ke Universitas al-Azhar melalui Kementrian Agama. Gus Mus diterima dengan syarat harus menyertakan ijazah. Syarat inilah yang membingungkannya. Karena ijazah SR hilang, Lirboyo tidak sampai tamat, Krapyak juga. Akhirnya Gus Mus memutuskan sowan Kiai Ali.

Di sana, Kiai Ali menyuruh Gus Mus untuk sowan ke Kiai Zaenal, adik Kiai Ali. Karena Kiai Zaenal yang saat itu menjadi kepala sekolah.

Kemudian Kiai Zaenal berkata dalam bahasa Jawa, yang artinya kurang lebih begini:

“Lho kamu kan sudah tau sendiri, anak sini yang sudah lulus Aliyah saja kalau belum pengabdian selama minimal setahun itu tidak akan saya berikan ijazahnya. Apalagi kamu yang tidak tamat kelas satu Tsanawiyah, kok meminta ijazah. Nanti pertanggungjawabannnya pada yaumul hisab bagaimana?”

Setelah tak menemukan jawabannya, Gus Mus kembali ke Kiai Ali, yang saat itu sedang bergayut di daun pintu.

Gak hasil yo?” tebak Kiai Ali, seakan sudah tau kalau Gus Mus pasti ditolak. “Wes tak gawekno ae, pangkatku luwih duwur daripada Zaenal.”

Kemudian Gus Mus dibuatkan “ijazah” dari kertas folio, yang dicoret-coret sendiri oleh Kiai Ali. Di dalamnya bertuliskan: “aku nyekseni nek bocah iki duwe semangat untuk memperkembangkan ilmu agama”. Cuma itu isinya, ujar Gus Mus.

Kemudian di Universitas al-Azhar, lembaga paling masyhur di dunia Islam, Gus Mus menyerahkan folio Kiai Ali tersebut. Dan benar saja, Gus Mus lolos ke al-Azhar tanpa diuji. Dari sini, Gus Mus mengakui nyekseni kewalian Kiai Ali.

Wong ngunu kok diarani wali. Wali yo aku iki,” ucap Gus Mus, menirukan kelakar yang kerap dilontarkan Kiai Ali Maksum dalam perbincangan sehari-hari.

Demikianlah cerita Gus Mus ketika menjadi santri dari Kiai Ali Maksum.

Al-Fatihah untuk Kiai Ali Maksum.

(Penulis: Mas Ahmad Zamzama)

Leave a Comment