Oleh : Naufal Zabidi
“Kenapa kamu tidak ikut ngaji kemarin?” tanya Pak Burhan dengan nada menyudutkan. Tajul hanya menunduk, bingung sebab tak sempat menyiapkan amunisi alasan.
Jamaah sholat subuh di masjid berakhir. Tanpa leyeh-leyeh, Pak Burhan langsung menuju ke teras masjid untuk memulai pengajian al-Qur’an yang diampunya. Orang-orang memasrahkan pengajian ini sepenuhnya kepada Pak Burhan, sosok yang memang kompeten untuk mengajar ngaji di kampungnya.
Matahari mulai naik ke permukaan, waktu mengaji segera berakhir. Ndilalah seorang pemuda memakai peci miring dan kemeja hitam muncul dengan membusungkan dada.
“Loh Tajul, kok baru datang? Kenapa kemarin tidak ikut ngaji?” tanya Pak Burhan dengan nada menyudutkan. Tajul hanya menunduk bingung, ia lupa tak menyiapkan alasan ketika nantinya ditanya Pak Burhan.
“Emmm, anu, Pak,” jawab Tajul sambil merem.
Pak Burhan dikenal sebagai sosok guru ngaji yang enak diajak ngobrol dan lumayan humoris. Namun jika muridnya tidak ikut mengaji, atau sampai ke tahap nir-disiplin, Pak Burhan akan melancarkan serangan dengan beberapa pertanyaan. Di situ murid-muridnya mati kutu karena kehabisan alasan.
“Saya habis mengantar ibu ke pasar, Pak,” ungkap Tajul cemas, sebab sebenarnya ia berbohong. Semalaman Tajul menonton pagelaran sepakbola, dan yang bermain adalah timnas Indonesia –negeri tercintanya– melawan Vietnam. Pertandingan berlangsung hingga tengah malam. Tajul larut pada sengitnya permainan, sampai-sampai ia berniat untuk tidak mengaji esoknya.
Mendengar alasan Tajul, Pak Burhan tak langsung percaya. Lagipula si Tajul memiliki kebiasaan mbolos ngaji yang terpola. Tiap hari Selasa dan Sabtu ia tak mengaji, sesuai dengan jadwal pertandingan timnas Indonesia di malam hari sebelumnya. Pada akhirnya Pak Burhan memberikan wejangan agar Tajul lebih giat mengaji. Pak Burhan juga memberikan teori ancaman supaya hal seperti ini tidak terjadi lagi.
Satu minggu berlalu, Tajul lebih sering berangkat mengaji. Di balik itu, ternyata Tajul masih menunggu pertandingan final antara timnas Indonesia melawan Thailand. Ia melewatkan beberapa pertandingan sebelumnya, Tajul hanya memperoleh informasi dari berita dan highlight di Youtube. “Wah timnas masuk final nih, jangan sampai kelewatan,” gumam Tajul sambil jingkrak-jingkrak mendengar Indonesia lolos ke babak final.
Tepat pukul 10 malam pertandingan dimulai. Di waktu itu pula Tajul menolak sadar, ia lupa untuk tidur lebih awal dan bersiap ngaji di pagi esoknya. Biasanya kalau tidur telat dikit saja, tubuhnya susah diajak bangun. Ditambah lagi pertandingan itu mustinya meninggalkan euforia berlebih, entah menang atau kalah. Namun Tajul tak peduli, ini semua demi membela bangsa Indonesia.
***
“Ada yang melihat Tajul tidak?” tanya Pak Burhan pada murid-muridnya.
“Tidak, Pak, kayaknya dia tidak ngaji lagi hari ini,” jawab Komang, ia biasa sholat subuh di samping Tajul. Komang sampai hafal kalau Tajul tiada di sampingnya berarti ia tak bakal ngaji.
Pak Burhan mencoba mencari orang tua Tajul yang biasa berpapasan dengannya setelah jamaah maghrib. Terlihat di serambi kanan, ibu Tajul menenteng sajadahnya menuju pintu masjid. Pak Burhan telah menantinya di luar.
“Bu, Tajul kok sering tidak ngaji bakda subuh kenapa ya?” Pak Burhan menanya sambil tersenyum.
“Oh itu Pak Ustadz, sudah saya bangunin beribu kali pun ia tidak berubah dari posisinya,” ibu Tajul merasa bersalah lantaran anaknya sering mbolos ngaji.
“Loh, katanya dia kalau tidak ngaji, alasannya lagi nganter ibu ke pasar!”
“Hehe endak, Pak Ustadz. Kan rumah saya dekat sama pasar, jadi biasanya saya jalan kaki,” pungkas ibu Tajul.
Setelah tahu bahwa Tajul berani berbohong padanya, Pak Burhan merasa kecewa. Di momen ini Pak Burhan menyiapkan amunisi untuk menginterogasi Tajul ke depannya. Sudah biasa seorang guru ngaji sepertinya untuk tidak menyepelekan hal-hal seperti ini. Jika dibiarkan, takutnya Tajul ngelunjak, bahkan ditakutkan murid-murid yang lain ikut-ikutan tidak sregep.
***
Bangku ngaji Pak Burhan telah tertata rapi dengan lampu sorot di atasnya. Hari ini Tajul berangkat lebih awal, berharap Pak Burhan mengampuni kesalahannya. Bahkan Tajul berdoa, “Semoga Pak Burhan lupa, Ya Allah!”.
Tek! Pak Burhan sudah di hadapan Tajul. Masih pagi, tetapi baju koko Tajul sudah dibasahi oleh keringatnya sendiri…
“Dari mana kemarin-kemarin? Kok tidak ngaji? Sudah merasa pintar?” serangan Pak Burhan menjadi-jadi. Harapan Tajul hangus, tidak sedikitpun Pak Burhan terlihat lupa. Tajul mencoba memberi alasan namun sia-sia. Belum satu kalimat ia sempurnakan Pak Burhan sudah melanjutkan serangannya.
“Begini Pak Burhan, sebenarnya saya menonton pertandingan timnas sampai larut malam. Besoknya saya bangun kesiangan, kadang juga lupa belum mendaras bacaan,” ungkap Tajul.
“Loohh… Kok malah nonton bola kamu ini.”
“Anu, Pak…Masa tidak boleh nonton timnas,” Tajul merasa hal ini wajar. “Kan membela negara pahalanya lebih besar, Pak,” tambahnya.
“Lah emang menang siapa? Eh salah-salah, maksud saya apa bedanya kamu nonton timnas sama enggak? Apalagi kamu mengorbankan waktu belajarmu,” Pak Burhan terkekeh, sebenarnya ia sama suka menonton bola, apalagi timnas Indonesia.
“Iya sih pak, mending waktu mengaji saya diganti. Jadi habis subuh saya langsung bermain bola, biar besok bisa membela negara,” jawab Tajul senang.
“Ya enggak gitu dong!!! Maksudku, lebih baik ngaji aja dulu. Nanti kalau kamu jadi kiai, siapa tahu doamu lebih manjur buat timnas.”
Mereka tertawa bersama-sama. Pak Burhan tidak sedikitpun membenci kekurangan muridnya itu, tetapi Tajul tetap mendapati hukuman tipis-tipis. Peristiwa ini berpola, setiap Tajul mbolos, besoknya Pak Burhan melancarkan serangan, dan Tajul hanya bisa bertahan. Persis seperti taktik sepak bola.
Editor : Ahmad Zamzama NH.
1 Comment