Oleh : Naufal Zabidi
Buah mangga tiba-tiba jatuh dari tangkainya, kali ini bukan karena hewan tak bertanggung jawab melainkan angin pagi meniup kencang. Pak Burhan akhirnya membuka pintu rumah dengan raut penasaran. Tangan kanannya membawa secangkir teh yang uapnya masih mengepul dan tangan kirinya menenteng koran Djawa Baroe. Ia terbiasa membaca koran terbaru untuk menambah informasi, terlebih tentang isu-isu Islam yang sedang hangat.
Pak Burhan duduk di teras seraya menunggu kerabatnya yang mengabarkan ingin berkunjung. Beberapa menit kemudian, bukannya kerabat yang datang, malah Mas Hadi ndingkik-ndingkik membawa oleh-oleh khas Jogja hasil dari perjalanan wisatanya kemarin. Mereka pun berbincang layaknya teman seangkatan. Pak Burhan memang guru ngaji Mas Hadi, tetapi ia tidak memaksanya untuk berperilaku berlebihan apalagi sampai memberi sekat perbincangannya.
Ketika bertemu, mereka selalu asyik membicarakan perkara-perkara ringan. Ini sesuai dengan ajaran Pak Burhan agar tidak perlu pusing-pusing membicarakan perkara dunia terlalu jauh, meskipun terkadang mereka juga mengimbanginya dengan isu-isu yang kiranya layak untuk dibincang.
Di tengah-tengah gurauan itu Ustadz Dikin datang. Ustadz Dikin adalah kerabat Pak Burhan selama mencari ilmu dulu. Ia juga yang membersamai Pak Burhan saat menumbuhkan ajaran keislaman di desa ini. Berbeda dengan kepribadian Pak Burhan yang luwes dan santai, Ustadz Dikin lebih cenderung tegas dan dingin, bahkan dulu orang kampung menganggapnya galak.
Ustadz Dikin kemudian bersalaman dengan keduanya, Mas Hadi langsung mencangking tas yang dibawa Ustadz Dikin untuk diletakkan ke dalam. Pak Burhan menjelaskan bahwa mereka sedang ngobrol-ngobrol santai, namun Ustadz Dikin masih heran dengan Mas Hadi yang lalu-lalang mengambilkan kardus air mineral dari dalam rumah.
Mas Hadi membuka kardus tersebut dan memberikan segelas air kepada Pak Burhan dan Ustadz Dikin. Ia juga mencoba melanjutkan obrolannya dengan Pak Burhan yang belum selesai tadi. “Jadi, Pak Burhan lebih suka bubur diaduk atau tidak?” tanya Mas Hadi. Pak Burhan berpikir sejenak, lalu menjawab bahwa ia suka bubur yang diaduk, “Diaduk dong! Lebih merata bumbunya.”
Obralan ini membuat Ustadz Dikin semakin heran dengan keduanya. Obrolan remeh tersebut terkesan tidak menghargai guru, apalagi dari tadi Mas Hadi tidak memperlihatkan tata kramanya sebagai murid.
“Kamu dari tadi kok tidak sopan sih!” amarah Ustadz Dikin memuncak. Mas Hadi terdiam, rasa takut dengan bingung bercampur menjadi satu sebab mendapati amarah kerabat guru ngajinya.
Sebelum suasana semakin memanas, Pak Burhan menenangkan. Ia memang menginginkan suasana belajar-mengajarnya menyenangkan. Tidak henti-hentinya Pak Burhan mengingatkan pada muridnya agar tidak menganggapnya hanya sebagai guru, melainkan juga teman. Di titik ini pula penilaian orang kampung kepada mereka berbeda, Ustadz Dikin dan Pak Burhan sama pintarnya, tetapi tidak sedikitpun orang menganggap keduanya memiliki kemampuan srawung yang sama.
***
Menjelang jamaah isya, Pak Burhan bersiap-siap berangkat menuju masjid. Ia menunggu Ustadz Dikin yang sedang memakai busana. “Begini sudah layak Mas Han?” mendengar itu Pak Burhan menoleh ke arah Ustadz Dikin. Ia hanya sedikit terkejut melihat Ustadz Dikin yang mengenakan jubah hijau dan peci putih layaknya orang Arab. Busana itu terlihat mencolok di kampungnya, tapi Pak Burhan tak berkomentar, khawatir tertinggal jamaah isya yang semakin dekat.
Seusai jamaah mereka berdua memilih pulang lewat pasar, untung-untung kalau Pak Burhan bertemu Tajul dan mengundangnya untuk ikut ngobrol di rumah. Dan ternyata benar, terlihat Tajul baru membereskan tempat dagangannya. Tajul memakai apron putih yang telah berubah warna. Noda merah yang menempeli apron biasa disebabkan potongan daging ayam jualan Tajul.
Mendengar sapaan Pak Burhan, Tajul pun memutar tubuhnya berbalik, ternyata yang ia lihat bukan hanya guru ngajinya. Ia merasa was-was dengan Ustadz Dikin dengan jubah hijaunya. Tajul mengingat masa lalunya ketika ngaji di Ustadz Dikin yang baginya dingin dan galak. Bahkan Tajul sempat tidak naik kelas lantaran tidak mau mengaji pada Ustadz Dikin.
Karena merasa panik dengan kedatangan Ustadz Dikin, Tajul mengambil sarung dan peci di bawah meja, ia terbiasa menaruhnya disitu untuk berjaga-jaga. Tajul langsung sungkem dengan kedua orang tersebut. Tapi, belum sempat berbincang, Tajul mencoba lari ke arah masjid.
“Eh, tunggu sebentar. Kenapa kamu lari?” Tanya Ustadz Dikin.
“Saya belum sholat isya, Tadz. Maaf banget.” Tajul tak sempat lari dan mencoba menguatkan mental untuk menghadap. Di kepalanya hanya teringat amarah Ustadz Dikin ketika ada anak muda yang tidak ikut berjamaah dengan alasan apapun, ia sulit melupakan itu.
“Kenapa kamu panik begitu? Tadi kok santai-santai saja?” Ustadz Dikin memulai penyelidikannya. Tajul semakin ketakutan, badannya layu seperti bunga yang tak tersentuh air satu bulan.
“Begini ya anak muda sekarang, waktu sholat diundur-undur, giliran ketahuan gurunya langsung ketakutan.” Kemudian Ustadz Dikin melanjutkan, “jadi, kamu takut Allah atau saya?”
Tajul terdiam sejenak mengumpulkan ide, ia merasa harus mengungkapkan alasannya detik ini. “Sejujurnya saya lebih takut Ustad Dikin, karena Allah lebih baik,” jawab Tajul.
Dekkk…Ustadz Dikin terkejut, ternyata selama ini ia menjadi alasan orang ketakutan dan terpaksa melakoni perintahnya. Ustadz Dikin ingin mengadu argumen, namun entah mengapa kali ini dia merasa tidak berdaya mendapat jawaban tersebut.
“Sudah-sudah jangan berantem. Toh kalau berdebat tidak ada ujungnya,” Pak Burhan menengahi sambil terkekeh mendengar kejujuran muridnya. “Lek iki muridku tenanan,” (Kalau ini benar-benar muridku.) gumam Pak Burhan dalam hati.