Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Fikih dan Tasawuf, Manakah yang Lebih Utama?

Gus Baha’. Sumber: Al-Munawwir.com

KH. Ahmad Bahauddin Nursalim yang akrab dipanggil Gus Baha merupakan sosok ulama yang dikenal sebagai ahli tafsir dan pakar Al-Qur’an. Beliau kerap memberikan kajian ceramah pada banyak majelis. Karena ceramahnya yang tidak begitu keras dan gemar bercanda, banyak jamaah yang gemar mengikuti ceramahnya. Tak sedikit pula jamaah yang mengikuti kajiannya secara virtual melalui berbagai platfrom media sosial.

Pada kajiannya, beliau sering membahas mengenai permasalahan fikih, tauhid, tasawuf, dan sebagainya yang berfokus pada permasalahan kehidupan sehari-hari. Tak jarang beliau memberikan dongeng atau hikayat ulama dan auliya jaman dahulu yang dapat memberikan teladan-teladan yang baik.

Bab pembahasan yang sering beliau bahas ialah mengenai bab fikih dan tasawuf. Kerap beliau membandingkan hubungan antara kedua bab tersebut pada berbagai forum kajian. Salah satunya beliau mengatakan mengenai teori bahwa ilmu tertinggi dianggap sebagai ilmu tasawuf. Beliau menjelaskan bahwasanya ahli tasawuf menafsirkan semua hal merupakan kehendak Allah, sedangkan ahli fikih mengartikan bahwa semua ibadah yang kita lakukan diikhlaskan dan tidak mencari imbalan balasan, namun semua dipersembahkan semata-mata untuk Allah. Beliau memaparkan teori ini memiliki kelemahan, sebab seakan-akan Allah memerlukan hambanya untuk memberikan kasih sayang-Nya. Padahal hamba-Nya dapat melaksanakan sholat menggunakan petunjuk Allah, dapat melaksanakan zakat menggunakan harta yang hakikatnya dimiliki oleh tuhan.

Beliau lantas mengatakan dalam ceramahnya Makanya yang benar ya teori tasawuf, kita bisa sedekah karena kehendak Allah, yang kita shodaqohkan itu juga kepunyaan Allah, maksudnya lillahi ta’ala.

Beliau menambahkan “Sehingga lillahi taala menurut tasawuf itu bahwa semua kebaikan kita ini karena hidayah Allah. Kalau menurut fikih tidak, kesannya kita yang berbuat lalu kita ikhlaskan untuk Allah. Pertanyaannya kan kita bisa berbuat itu pakai fasilitasnya siapa? Pakai hidayahnya Allah juga kan. Makanya ilmu tertinggi dianggap ilmu tasawuf karena tasawuf ini yang benar-benar lillahi robbil alamin. Tapi fikih juga baik, tutup beliau.

Sedangkan pada ceramahnya yang lain, beliau mengangkat derajat ilmu fiqh dengan menyatakan bahwasanya “Tidak ada ilmu yang sebarokah ilmu fikih.”

Setelah pernyataan tersebut, beliau memaparkan “Ketika Allah berbicara agama ini sudah sempurna, sebetulnya yang dikatakan Allah itu adalah tema-tema fikih. Jadi orang sekarang itu ngawur sekali kalau mengatakan tasawuf itu diatas fiqh itu keliru sekali. Kita bisa mengikhlaskan amal itu setelah lolos uji fiqh. Jadi misalnya oh saya sholat tak iklhaskan untuk Allah, status sholat itu harus benar dulu, ada fatihahnya, ada rukunya, dan sujudnya. Status sholatnya aja tidak benar, bilang diikhlaskan? diikhlaskan mbahe! Hahaha,candanya.

Beliau lantas memberikan analogi lain, Itu kan seperti shodaqoh, shodaqoh itu pakai harta, hartanya halal baru disedekahkan, baru diikhlaskan, kalau hartanya aja sudah tidak halal atau tidak ada sama sekali? yang penting ikhlas. Yang penting mengajar ikhlas, tapi mengajar aja tidak laku kok ikhlas?” pungkas beliau.

Pada kajian lainnya beliau mengatakan bahwasanya menurut Imam Syafi’i. Orang yang bertasawuf namun tidak memahami ilmu fikih begitu berbahaya dalam beragama. “Menurut Imam Syafi’i, orang yang hanya tasawuf yang tidak mengerti fiqh, maka akan menjadi kafir zindiq. Sedangkan orang yang fikih tapi tidak tasawuf maka akan menjadi fasiq. Fasiq masih mending, lhaa kalau jadi kafir?” kata beliau.

“Karena kalau hanya tasawuf tidak fikih, semua aturan agama itu diruntuhkan oleh keinginan dia menjadi wali. Membahas makan malu, membahas dunia malu, padahal Allah biasa menyifati dzat-Nya sebagai dzat yang memberi makan. Allah itu siapa? Allah menyifati dirinya alladzi athamahum min juu’, yang memberi makan,” jelasnya.

“Bagaimanapun Allah sudah berfirman wa jaahiduu bi amwalikum, berjuanglah kalian dengan hartamu. Berjuang dengan melibatkan punya uang. Orang tasawuf anti membahas hal itu. Allah saja yang tuhan membahas uang, kamu kok sok suci? biasa saja!” jawabnya.

Hal tersebut tentu membingungkan jamaah kajiannya, terlebih jamaah virtualnya yang hanya mendengarkan beberapa kajiannya secara tidak sempurna. Lantas manakah ilmu yang lebih utama antara ilmu tasawuf dan ilmu fikih menurut beliau?

Dalam forum lainnya, beliau menceritakan mengenai pengalamannya dididik oleh gurunya. “Saya bisa begini ya karena dididik bapak, dididik Mbah Moen dididik guru-guru saya.’’

‘’Kalau kata bapak begini “kyai fikih itu banyak bicara, orang abangan (baca:muslim yang mencampurkan aliran hindu, buddha, dan animisme) tidak pernah sholat, setelah ditobatkan oleh kyai mau sholat. Sholat pertama langsung tidak disahkan alasannya tidak tuma’ninah. Padahal tidak merasakan betapa susahnya mengajak sholat kaum abangan, dia tinggal berkata tidak sah. Hati kok kerasnya begitu, cerita ayahnya pada beliau.

Beliau melanjutkan Lhaa iya, dalam hal seperti ini nurani kita berontak.

Kembali beliau melanjutkan perkataan ayahnya “Masa kaum abangan tidak pernah sholat begitu sholat pertama langsung divonis tidak sah. Apa susahnya diam saja tak banyak bicara? Tapi jika sholatnya selalu kamu sahkan berarti kamu kyai goblok. Orang sholatnya tidak benar kok kamu biarkan terus menerus.”

“Bukan sholatnya orang tersebut itu sah atau tidak? Sholat itu perbuatan bagus kok kamu permasalahkan? Zaman nabi hidup itu istilahnya bukan tidak sah, tapi sholatnya diperbaiki. Sholatnya diperbaiki tapi kamu jangan bilang tidak sah. Orang tidak salat puluhan tahun, begitu solat pertama kali kenangannya kamu vonis tidak sah.”

Beliau menerangkan Kamu tidak boleh jadi orang sufi saja atau orang fikih saja. Jika menjadi orang fikih saja hatimu keras, seperti tadi, ada orang baru taubat mau sholat langsung divonis tidak sah, lhaa iya ada orang mau simpuh, bersujud kepada tuhan kok divonis tidak sah. Lhaa itu kalau dibalik bahasanya menjadi sujud kepada tuhan itu tidak sah. Mana ada bersimpuh ke tuhan tidak sah?” jelasnya.

Kemudian Gus Baha’ memperingatkan “Jangan cuma jadi orang fikih saja atau sufi saja. Sekali jadi orang alim ya harus double, ya faqih ya sufi! Seperti kalian ini sudah betul, bukan faqih dan bukan sufi. Jangan jadi salah satunya. Pilihannya jadi keduanya atau tidak keduanya, terangnya disertai gurauan.

Dari penjelasan Gus Baha’ dapat disimpulkan bahwa kedudukan antara ilmu fikih dan ilmu tasawuf sangatlah penting. Dimana kedudukan keduanya berstatus saling melengkapi diantara yang lainnya, seperti yang telah dijelaskan pada kajiannya.

Fikih tanpa tasawuf akan menjadi kering dan formalistik. Fikih hanya akan menjadi kumpulan aturan-aturan yang harus ditaati, tanpa ada makna, dan nilai spiritual yang mendalam.

Sebaliknya, tasawuf tanpa fikih akan menjadi mengawang-awang dan tidak membumi. Tasawuf hanya akan menjadi sekumpulan ajaran-ajaran spiritual yang indah, namun tidak memiliki praksis nyata dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu ‘alam.

Penulis: Muhammad Afif Azami
Editor: Ahmad Zidan M.

Leave a Comment