Oleh : Khoiru Ulil Abshor
Sebagai negara beriklim tropis, Indonesia menjadi salah satu negara penghasil tembakau terbesar keenam di dunia. Tidak dapat dipungkiri pula, masyarakat Indonesia memiliki data konsumsi yang besar pula terhadap tembakau yang dilinting dan terkenal dengan sebutan rokok. Di bulan puasa seperti ini, sebuah polemik tersendiri mengenai kasus menghirup asap rokok.
Seperti yang telah diketahui bersama dalam beberapa kitab fikih, salah satu yang membatalkan puasa adalah masuknya benda (‘ain) secara sengaja ke dalam rongga yang terbuka, yang ada dalam tubuh. Akan tetapi, kebanyakan ‘ain yang dimaksud adalah benda padat dan cair. Bagaimana jika ‘ain tersebut berupa asap atau uap, yang kemudian terhirup oleh orang yang sedang berpuasa?
Dalam membahas ‘ain yang berupa asap, disebutkan di kitab Hasyiyah al-Jamal
ومن العين الدخان لكن على تفصيل فإن كان الذي يشرب الآن من الدواة المعروفة أفطر وإن كان غيره كدخان الطبيخ لم يفطر هذا هو المعتمد. اهـ
Dan termasuk dari ‘ain (yang membatalkan puasa) adalah asap/uap. Namun perlu diperinci, apabila asap/uap itu adalah yang terkenal dihisap seperti yang diketahui sekarang ini yaitu tembakau, maka (asap tersebut) membatalkan puasa. Dan apabila selain asap tersebut seperti asap/uap masakan maka tidak membatalkan. Ini adalah pendapat yang dapat digunakan sebagai sandaran. [Sulaiman al-Ujaili, Hasyiyah al-Jamal, Dar al-Fikr, juz 2 hlm. 317]
Asap rokok yang dihisap oleh perokok adalah asap yang membatalkan puasa karena dianggap sebagai ‘ain atau benda yang dapat membatalkan puasa bagi orang yang menghisapnya.
Beberapa ulama Nusantara juga membahas permasalahan ini karena memang masalah ini mudah ditemukan di Indonesia. Syeh Nawawi Banten, salah seorang ulama yang membahas menyebutkan dalam kitabnya
يفطر صائم بوصول عين من تلك إلى مطلق الجوف من منفذ مفتوح مع العمد والاختيار والعلم بالتحريم ومن العين الحقنة ومنها الدخان المعروف
Seorang yang berpuasa menjadi batal dengan sampainya ‘ain ke tenggorokan dari rongga tubuh yang terbuka dengan sengaja, pilihan, dan mengerti dengan haramnya. Dan termasuk dalam ‘ain adalah jarum, termasuk juga asap yang diketahui (rokok) [Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Nihayah az-Zain, Dar al-Fikr, hlm. 187]
Selain beliau, ada pula yang membahas masalah merokok saat puasa, yaitu Syeh Ihsan Kediri. Syeh Ihsan membahasnya dalam kitab Irsyad al-Ikhwan. Beliau berkesimpulan bahwa merokok saat puasa dapat membatalkan karena termasuk dalam ‘ain yang masuk ke dalam tubuh. Kesimpulan tersebut beliau ambil dari Ibnu Hajar al-Haitami yang menulis dalam kitabnya
ومن العين الدخان المشهور وهو المسمى بالتتن ومثله التنباك فيفطر به الصائم؛ لأن له أثرا يحس كما يشاهد في باطن العود
Dan termasuk ‘ain adalah asap yang terkenal dan itu dinamakan dengan ‘al-tutun’, dan yang semisalnya adalah tembakau. Maka orang yang berpuasa batal dengan (menghisap) tembakau (rokok). Karena asap tersebut memiliki sensasi tertentu yang dapat dirasakan dalam kandungan tembakaunya. [Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, Maktabah at-Tijariyah Kubra, juz 3, hlm. 400]
Penjelasan di atas adalah hukum menghisap rokok bagi orang yang berpuasa dengan status perokok aktif. Yang mana mereka sengaja menghisap rokok sehingga membuat ‘ain masuk ke dalam tubuh.
Jika dikaitkan secara bahasa, menghisap rokok menurut beberapa ulama secara umum dikenal sebagai “syurbud dukhan” atau artinya ‘minum atau menghisap asap’. Perilaku yang tampak sehari-hari adalah menghisap sehingga mayoritas ulama berpendapat merokok itu membatalkan puasa.
Dari argumentasi tersebut, dapat dipahami pula, perokok pasif yang berpuasa tidak batal puasanya ketika terpapar asap rokok. Alasannya karena batalnya puasa seseorang seperti yang disebutkan para ulama adalah sengaja memasukkan ‘ain ke dalam tubuh, sedangkan perokok pasif hanya menghirup asap yang dihembuskan oleh perokok, yang mana asap tersebut sudah bercampur dengan udara.
Diperkuat dalam kitab Taqrirat as-Sadidah:
قوله : (وصول عين) خرج به الهواء فلا يضر وصول هواء الي الجوف وكذلك مجرد الطعم والريح بدون عين
Perkataannya (sampainya benda) dikecualikan darinya yaitu udara, maka tidak membahayakan (membatalkan) sampainya udara ke dalam rongga tubuh, begitu juga sisa rasa dan bau dengan tanpa adanya ‘ain [Hasan Ahmad Muhammad al-Kaff, Taqrirat as-Sadidah, Dar al-Ulum al-Islamiyah, juz 1 hlm. 451]
Aktivitas menghirup udara bagi orang yang puasa, meskipun udara itu sudah bercampur dengan rasa ataupun bau tidaklah membatalkan puasa.
Wallahu a’lam bi Showab.
Editor : Fahri Reza
1 Comment