Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Fiqih Ramadan (4): Benarkah Melihat Foto Lawan Jenis Bisa Membatalkan Puasa?

Photo by George Dolgikh/Pexels

Di suasana Ramadhan seperti sekarang ini, bermain media sosial adalah salah satu alternatif bagi kita untuk menunggu waktu buka puasa. Dengan media sosial, secara bebas kita dapat mengunggah apa saja yang kita inginkan tanpa takut adanya serangan yang bersifat fisik dari konsumen konten kita. Seperti mempromosikan apa yang kita punya, berbagi informasi, ataupun sekadar mengunggah foto/video selfi tentang diri kita. Oleh sebab tidak adanya batasan dalam media sosial, sebagai pengguna kita tidak dapat menghindari untuk melihat foto/video lawan jenis kita yang tidak jarang pula hal tersebut menggugah nafsu syahwat kita.

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan melihat foto/video di media sosial dalam keadaan sedang berpuasa. Sedangkan puasa memiliki makna menahan diri. Apakah perilaku tersebut dapat membatalkan puasa?

Melihat Foto Lawan Jenis

Foto/video lawan jenis yang dilihat melalui gadget bisa disamakan dengan melihat gambar yang ada pada cermin atau pantulan air dalam hal sama-sama bukan wujud asli dari bendanya. Dapat diketahui secara jelas bahwa gambar yang ada pada cermin merupakan bayangan dari suatu benda, gambar yang dihasilkan oleh kamera yang berupa foto juga merupakan bayangan dari benda aslinya. Foto yang dihasilkan kamera tersebut adalah hasil pantulan cahaya yang ditangkap oleh kamera. Apabila berbentuk soft file (seperti dalam konteks pembicaraan) maka hasil tangkapan kamera dalam hal ini berupa kumpulan sinar-sinar kecil yang dihasilkan oleh layar gadget.

Berdasarkan pernyataan tersebut, maka hukum melihat foto lawan jenis melalui gadget dapat disamakan dengan melihatnya melalui cermin. Menurut pendapat ulama, melihat bayangan lawan jenis yang berada di kaca diperbolehkan karena yang dilihat hanyalah bayangan yang menyerupai bukan wujud aslinya. Dalam kitab Ianah at-Tholibin disebutkan

قوله: (لا في نحو مرآة) أي لايحرم نظره لها في نحو مرآة كماء وذلك لأنه لم يرها فيها وإنما رأى مثالها -الي ان قال- والمرأة مثله فلا يحرم نظرها له.

Perkataannya: (Tidak pada semisal cermin) maksudnya tidak haram melihatnya seorang laki-laki kepada perempuan pada semisal cermin seperti (pantulan) air. Hal tersebut dikarenakan sesungguhnya dia tidak melihatnya di dalam cermin melainkan dia melihat bayangannya. Demikian perempuan, maka tidak haram melihatnya seorang perempuan kepada laki-laki (seperti keadaan tersebut). [Abu Bakr Usman bin Muhammad Syatha, Ianah at-Tholibin, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 440]

Dalam keterangan selanjutnya Kiai Mushonnif menyebutkan hukum diperbolehkan dengan ketentuan ketika melihatnya tidak disertai syahwat apabila ketika melihatnya syahwat maka hukumnya menjadi haram.

Puasanya Orang yang Melihat Foto/Video Lawan Jenis

Ibnu Hajar al-Haitami memasukkan pembahasan tersebut dalam pembahasan orang yang menyengaja mengeluarkan mani.

(و) شرطه أيضا الإمساك (عن الاستمناء) وهو استخراج المني بغير جماع حراما كان كإخراجه بيده أو مباحا كإخراجه بيد حليلته (فيفطر به)

Termasuk syarat puasa adalah menahan dari onani, onani adalah menyengaja mengeluarkan mani dengan tanpa jimak baik yang diharamkan seperti mengeluarkan (mani) dengan tangannya atau yang diperbolehkan seperti mengeluarkan (mani) dengan tangan (orang) yang halal baginya. Maka puasa seseorang batal dengannya. [Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, Maktabah at-Tijariah Kubra, juz 3 hlm. 409]

Orang yang puasa kemudian melihat sesuatu yang membangkitkan nafsu syahwat kemudian menyengaja mengeluarkan mani dengan tangan (onani) menjadi batal puasanya. Dalam kitab Ianah at-Tholibin dijelaskan apabila orang terbiasa menyengaja mengeluarkan mani dengan melihat disertai syahwat, maka hal tersebut membatalkan puasa.

Ibnu Hajar melanjutkan pembahasannya

ولا بنحو (الفكر والنظر بشهوة) وإن كررهما واعتاد الإنزال بهما لانتفاء المباشرة فأشبه الاحتلام

Dan tidak (termasuk membatalkan) dengan semisal berpikir dan melihat (lawan jenis) dengan syahwat. Walaupun dia mengulangi (kedua perbuatan tersebut) dan dia terbiasa ejakulasi dengannya dikarenakan tidak adanya sentuhan kulit maka hal tersebut serupa dengan mimpi basah. [Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, Maktabah at-Tijariah Kubra, juz 3 hlm. 410]

Orang yang maninya keluar dengan memikirkan atau melihat sesuatu yang membangkitkan syahwat dengan catatan tidak ada kontak fisik dengan objek maka hal tersebut diserupakan dengan mimpi basah. Artinya perilaku tersebut tidak membatalkan puasa karena sama dengan mimpi basah yang tidak membatalkan.

Sah atau tidaknya puasa seseorang bukan dibatalkan oleh perbuatan haram, melainkan melakukan perbuatan yang membatalkan puasa. Hukum melihat foto/video lawan jenis di media sosial memiliki dua kemungkinan hukum, yaitu mubah dan haram. Mubah apabila melihat dengan tanpa syahwat dan haram apabila melihat dengan syahwat sehingga apabila dikaitkan, hukum puasa seseorang dengan kondisi tersebut masih tetap sah meskipun dengan penglihatan yang disertai syahwat.

Kesimpulan

Melihat foto/video lawan jenis di media sosial memiliki konsekuensi hukum yang berbeda dengan orang yang melihat lawan jenis secara langsung. Melihat melalui media sosial diserupakan seperti orang yang melihat melalui cermin sedangkan ketika melihat cermin yang dilihat adalah bayangan objek, bukan bentuk riil dari objek. Puasa seseorang tidak batal dikarenakan melihatnya kepada lawan jenis kendati hal tersebut mubah ataupun haram. Karena puasa batal apabila melakukan perkara yang membatalkan bukan karena melakukan perkara yang haram.

Di antara perkara yang membatalkan adalah menyengaja (Istimta’) mengeluarkan mani. Namun yang dimaksud membatalkan adalah apabila menggunakan tangan ataupun adanya sentuhan dengan objek pelampiasan syahwat. Apabila sebatas pemikiran atau penglihatan masih tidak membatalkan.

Meskipun demikian, dianjurkan untuk kita menahan diri ketika puasa karena hal tersebut dapat mengurangi kesempurnaan puasa. Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulum ad-Din menyebutkan bahwa setiap ibadah memiliki aspek dzhohir dan batin sehingga puasa seseorang tidak hanya menahan dari makan dan minum. Namun juga memperhatikan aspek batin yaitu dengan menahan nafsu. Syeh Nawawi menyebutkan dalam karangannya

(و) السادس (كف) النفس عن (شهوة) مباحة لا تبطل الصوم من توسع طعام وشراب وتلذذ بنحو مسموع ومبصر وملموس ومشموم -الي ان قال- لأن فيه ترفها لا يناسب حكمة الصوم

Dan (kesunahan) keenam adalah menjaga diri dari syahwat yang diperbolehkan (mubah) serta tidak membatalkan puasa seperti memperbanyak makan dan minum, dan menikmati (bersenang-senang dengan) sesuatu yang terdengar, terlihat, teraba, dan tercium. Karena di dalamnya terdapat kemewahan yang tidak seusai dengan hikmah puasa [Nawawi al-Jawi, Nihayah az-Zein, Dar al-Fikr, hlm. 194]

Wallahu a’lam bisshowab

Editor : Ahmad Khoiruddin

Leave a Comment