KH Ahmad Munawwir adalah salah satu, dari tiga puluh lebih, putra Mbah Munawwir Krapyak. Beliau wafat pada tahun 2001, meninggalkan istri (Ibu Nyai Shofiyah Ahmad), seorang putra (KH. M. Munawwar Ahmad), dan Pondok Pesantren Al-Munawwir Komplek L, Krapyak, Yogyakarta.
Mbah Ahmad, begitu biasa beliau disebut santri-santrinya, adalah seorang ahli Al-Qur’an, bacaan Al-Qur’annya lancar (lanyah) dan gemar mendarasnya. Suara beliau juga merdu jika membaca Al-Qur’an. Karena itu, kata KH. Muh. Hafidz Tanwir, salah satu keponakannya, jika ziarah ke Mbah Ahmad sebenarnya tidak perlu membaca yang aneh-aneh; cukup baca Al-Qur’an, daras Al-Qur’an. Karena itulah yang disukai oleh shohibul maqbaroh.
”Mbah Ahmad, begitu biasa beliau disebut santri-santrinya, adalah seorang ahli Al-Qur’an, bacaan Al-Qur’annya lancar (lanyah) dan gemar mendarasnya. Suara beliau juga merdu jika membaca Al-Qur’an.”
Ilmu mengaji Al-Qur’annya ini diwarisi oleh KH. R. Najib Abdul Qodir; beliaulah penerus Mbah Ahmad dalam membidangi Al-Qur’an ini. Selain itu, Mbah Ahmad adalah orang yang jaduk. Pernah saat jagongan, beliau tiba-tiba menggerakkan tangan dan kakinya, seperti menangkis sesuatu, tapi tidak ada apa-apa, hanya angin yang tampak mata. Usut punya usut, ternyata saat itu beliau sedang menangkis santet, berisi barang-barang tidak lumrah seperti paku.
Salah satu ilmu kejadukan Mbah Ahmad ini, yang nurun ke salah satu Kiai di Banyuwangi, adalah kemampuan berjalan di atas serat-serat gedebok pisang yang dibentangkan di atas sumur. Murid Mbah Ahmad yang lain, diceritakan KH. Muh. Hafidz Tanwir, pernah terbuka hatinya (futuh) di Dongkelan, komplek pemakaman keluarga pesantren Krapyak. Dalam penglihatan murid ini, makam tampak terbuka. Kepada murid inilah, ilmu kejadukan Mbah Ahmad diteruskan. (Beliau sampai sekarang masih hidup, rasanya kurang etis jika menyebut namanya).
Berbanding lurus dengan ini, adalah karakter Mbah Ahmad yang menyukai wirid. Karena kesukaan inilah, di masa-masa hidupnya, kata KH M. Munawwar Ahmad, sampai muncul pernyataan bahwa tidak dikatakan muridnya Mbah Ahmad jika tidak rutin membaca wirid tersebut. Demikianlah, dzikir Mbah Ahmad sampai melekat menjadi identitasnya, bahkan identitas murid-muridnya.
Dalam kehidupan sehari-hari, Mbah Ahmad dikenal sebagai orang yang jarang ndawuhi, jarang pula mengumumkan atau membanggakan santri-santrinya. Padahal, diantara santri-santrinya, banyak yang menjadi tokoh, kiai dan orang-orang besar. Tapi beliau pernah sekali menampakkan rasa bungah dan senang setelah mengetahui bahwa KH Ahsin Sakho Muhammad, salah satu muridnya, bisa menjadi imam sholat di Masjidil Haram, Makkah.
Dan tadi malam adalah haulnya Mbah Ahmad yang ke-20. Allahummaghfir lahu warhamhu wa’afihi wa’fu ‘anhu. Alfatihah…
Penulis:
Ahmad Zamzama NH
(Santri PP. Al Munawwir Komplek L)
1 Comment