Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia memiliki peran historis, sosial, dan kultural yang sangat signifikan dalam perjalanan bangsa. Sejak masa perjuangan kemerdekaan, pesantren tidak hanya berfungsi sebagai pusat pendidikan agama, tetapi juga sebagai benteng perlawanan terhadap kolonialisme, pengawal moral bangsa, sekaligus penggerak masyarakat dalam menjaga persatuan.
Memasuki era digital saat ini, tantangan kebangsaan yang dihadapi Indonesia semakin kompleks, salah satunya adalah maraknya disinformasi, hoaks, dan ujaran kebencian di ruang publik. Hal ini mengancam persatuan, menurunkan kepercayaan sosial, bahkan berpotensi menggerus wawasan kebangsaan generasi muda. Dalam konteks inilah, pesantren dituntut untuk memainkan peran baru yang relevan dengan dinamika zaman, yaitu memperkuat wawasan kebangsaan melalui pendidikan kritis, moderasi beragama, dan literasi digital.
Wawasan kebangsaan pada hakikatnya merupakan kesadaran kolektif mengenai identitas nasional, cinta tanah air, dan komitmen menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di tengah derasnya arus globalisasi dan penetrasi media sosial, wawasan kebangsaan seringkali terkikis oleh polarisasi politik, penyebaran ideologi transnasional yang intoleran, serta propaganda berbasis agama yang menyesatkan. Disinformasi digital menjadi salah satu faktor yang memperparah kondisi ini. Laporan Kominfo (2024) menunjukkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat penyebaran hoaks tertinggi di Asia Tenggara, dengan isu agama dan politik sebagai konten yang paling sering diproduksi. Kondisi ini menuntut adanya agen-agen pendidikan yang mampu membekali masyarakat, khususnya generasi muda, dengan kemampuan berpikir kritis serta nilai kebangsaan yang kokoh. Pesantren, dengan basis massanya yang luas dan akar tradisi yang kuat, memiliki potensi besar untuk mengambil peran tersebut.
Kontribusi pertama pesantren dalam menghadapi tantangan disinformasi digital adalah penguatan kurikulum berbasis moderasi beragama yang berorientasi pada nilai kebangsaan. Pesantren pada dasarnya mengajarkan ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin dengan mengedepankan toleransi, cinta tanah air, dan penghormatan terhadap keragaman. Nilai ini sejalan dengan prinsip hubbul wathan minal iman (cinta tanah air adalah bagian dari iman) yang kerap diajarkan oleh para kiai. Dengan menekankan pentingnya persatuan bangsa dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika, pesantren dapat menanamkan kesadaran bahwa disinformasi yang bersifat memecah belah dan bertentangan dengan ajaran Islam serta nilai Pancasila. Hal ini terbukti efektif karena santri tidak hanya belajar agama, tetapi juga memahami relevansi ajaran tersebut dalam konteks kehidupan berbangsa.
Selain itu, peran pesantren juga penting dalam membangun literasi digital berbasis keislaman dan kebangsaan. Literasi digital menjadi kebutuhan mendesak karena ruang maya telah menjadi arena utama dalam pembentukan opini publik. Namun, tanpa kemampuan memilah informasi, masyarakat rentan menjadi korban manipulasi. Dalam hal ini, pesantren dapat mengintegrasikan pengajaran agama dengan keterampilan digital, misalnya melalui pelatihan jurnalistik santri, pembuatan konten edukatif di media sosial, atau kelas literasi informasi yang mengajarkan santri bagaimana membedakan informasi yang valid dari hoaks. Beberapa pesantren di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah memulai langkah ini dengan membentuk komunitas santri digital yang bertugas memproduksi konten moderasi beragama untuk melawan narasi ekstremisme. Upaya semacam ini tidak hanya membekali santri dengan keterampilan baru, tetapi juga menjadikan pesantren sebagai pusat produksi informasi yang sehat dan berorientasi kebangsaan.
Di sisi lain, pesantren juga berperan dalam mengembangkan kepemimpinan muda yang berwawasan kebangsaan. Para santri tidak hanya diasah dari sisi intelektual, tetapi juga dari sisi spiritual, moral, dan sosial. Hal ini melahirkan generasi yang memiliki integritas dan kesadaran kolektif untuk menjaga NKRI. Ketika santri dilatih untuk menjadi pemimpin yang amanah, berpikir kritis, serta peka terhadap isu sosial, mereka dapat menjadi agen perubahan di masyarakat. Misalnya, dalam konteks disinformasi, santri yang pulang ke kampung halaman dapat menjadi narasumber terpercaya bagi masyarakat sekitar, sekaligus penangkal berita palsu yang beredar. Dengan basis massa pesantren yang mencapai jutaan, jika peran ini dijalankan secara sistematis, maka akan tercipta kekuatan sosial yang masif untuk menjaga kohesi bangsa.
Meski demikian, kontribusi pesantren dalam memperkuat wawasan kebangsaan bukan tanpa tantangan. Sebagian pesantren masih menghadapi keterbatasan dalam hal infrastruktur teknologi, akses informasi, serta kemampuan tenaga pengajar dalam menguasai isu digital. Selain itu, adanya kelompok-kelompok tertentu yang menyusup ke dunia pesantren dengan membawa ideologi transnasional yang intoleran juga menjadi ancaman serius. Jika tidak diantisipasi, pesantren bisa saja terjebak menjadi bagian dari penyebaran disinformasi, alih-alih menjadi bentengnya. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama yang erat antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat sipil untuk mendukung pesantren dalam menjalankan peran barunya. Dukungan tersebut dapat berupa penyediaan fasilitas teknologi, penguatan kapasitas guru dan kiai dalam bidang literasi digital, serta kolaborasi dengan lembaga media untuk menciptakan ekosistem informasi yang sehat.
Dari perspektif akademik, kontribusi pesantren dalam memperkuat wawasan kebangsaan dapat dianalisis menggunakan teori hegemoni Antonio Gramsci. Pesantren dapat dilihat sebagai bagian dari civil society yang memainkan peran hegemonik dalam membentuk kesadaran masyarakat. Melalui pendidikan, pesantren menanamkan nilai ideologis yang menekankan harmoni sosial dan persatuan bangsa. Dalam konteks disinformasi digital, pesantren memiliki potensi untuk melawan hegemoni negatif yang dibangun oleh aktor-aktor penyebar hoaks, dengan menciptakan kontra hegemoni berbasis nilai kebangsaan dan Islam moderat. Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjalankan fungsi keagamaan, tetapi juga fungsi politik-kultural yang berpengaruh terhadap arah bangsa.
Dengan melihat berbagai uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa pesantren memiliki kontribusi strategis dalam memperkuat wawasan kebangsaan Indonesia di era disinformasi digital. Peran tersebut mencakup pendidikan moderasi beragama, literasi digital, dan pembentukan kepemimpinan muda yang cinta tanah air. Meski dihadapkan pada tantangan besar, potensi pesantren sebagai pusat pendidikan berbasis moral dan kebangsaan tidak bisa diabaikan. Justru dengan memperkuat peran pesantren, Indonesia dapat memiliki fondasi sosial yang kokoh untuk menghadapi ancaman perpecahan akibat disinformasi. Oleh karena itu, integrasi antara nilai-nilai pesantren dan kebutuhan kebangsaan kontemporer harus terus diupayakan secara serius. Pesantren bukan hanya benteng agama, melainkan juga benteng kebangsaan yang relevan dan adaptif terhadap zaman.
Penulis: Ahmad Khoiruddin
Editor: Fahri Reza M.
Daftar Referensi
Bruinessen, Martin van. (1995). Pesantren and Kitab Kuning: Continuity and Change in a Tradition of Religious Learning. Leiden: KITLV.
Hidayat, Komaruddin. (2018). Islam Moderat dan Tantangan Kebangsaan. Jakarta: Kompas.
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI. (2024). Laporan Tahunan Penanganan Konten Negatif. Jakarta: Kominfo.
Madjid, Nurcholish. (1997). Bilik-bilik Pesantren. Jakarta: Paramadina.
Maarif, Ahmad Syafii. (2009). Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES.