Hidup di dalam masyarakat nokturnal menyisakan keresahan tersendiri bagi saya. Bukan karena aktivitas tersebut yang mengganggu tidur malam, melainkan keresahan yang lahir dari empati kepada siapa pun yang kesehariannya bagai kelelawar: malam begadang, siang tidur siang hari.
Begadang menjadi tren kekinian yang menjangkiti tiap segmen usia dan berbagai kelas sosial. Dari toko supermarket dan coffee shop buka 24 jam, masyarakat perkotaan sampai desa seolah mendapat napas segar. Mereka fasilitas yang asyik untuk bersantai bereuni, atau melepas penat seharian. Tentu, jika kita mencoba melakukan observasi di jalanan, akan dijumpai warung kopi, angkringan, yang tetap ramai meskipun sudah dini hari.
Masalahnya, jamak diketahui bahwa begadang punya lebih banyak dampak negatif dari positifnya. Bagaimana agama Islam melihatnya serta bagaimana solusi yang coba ditawarkan? Hal itu yang akan direfleksikan dalam tulisan ini.
Syariat Memandang “Begadang”
Dalam literatur agama Islam, termaktub dorongan untuk “menghidupkan” malam. Terkhusus malam sepuluh akhir bulan Ramadhan, malam lailatulqadar, dan malam hari raya Islam. Banyak sekali dalil yang menyatakan keberpihakan agama pada hal ini.
Hal itu diperkuat dengan kebiasaan para ulama besar dahulu, laiknya Imam Waki’ bin Jarrah dan Imam Ibnu Hambal yang mendiskusikan hadis sampai subuh; Imam As-Syafi’i dilaporkan putri Imam Malik melewatkan sholat tahajud demi menggali suatu hukum; dan Imam An-Nawawi Ad-Dimasyqi semalaman suntuk mengkhatamkan Al-Qur’an. Wajar sekali, mengingat tuntutan kedudukan mereka sebagai pakar agama Islam.
Selain itu, di Indonesia, juga banyak ulama yang meniru haliyah tersebut. Sebut K.H. M. Sahal Mahfudz, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), K.H. M. Munawwir, ataupun Gus Baha (K.H. Bahauddin Nur Salim) yang sering terjaga sampai fajar untuk mutalaah kitab dan mendaras Al-Qur’an. Banyak lagi dalam literatur (kitab kuning) yang mendokumentasikan para wali dan ulama lain “gila-gilaan” beribadah demi mencari kepuasan asketis, mencapai tujuan rohani.
“Kegilaan” tersebut sepadan dengan yang disebut Ulil Abshar Abdalla dalam buku Menjadi Manusia Rohani: Meditasi-Meditasi Ibn Athoillah dalam Kitab Al-Hikam (hlm, 164), bahwa meraih kesuksesan (kemahiran) perlu kerja lebih keras, usaha lebih besar. Tidak berhenti dengan kepuasan dan pencapaian manusia umumnya. “Kegilaan” dalam beribadah (malam) tentu begitu kontras dengan arus pemikiran (common sense) masyarakat awam, yang menghendaki keteraturan pola hidup, termasuk jam tidur.
Sebuah Perenungan
Keteraturan ini menjadi buntut keresahan saya selama ini. Sebuah fakta di lapangan mengingatkan interval perbedaan yang signifikan antara kita (yang begadang) dengan para ulama dulu. Kalau toh ulama dulu begadangnya adalah begadang yang produktif, banyak di kalangan kita hanya menjadi mubadzirin, penyia-nyia waktu. Pasalnya, banyak dari kita hanya asyik nge-game atau ngobrol tak berfaedah.
Kebiasaan begadang pun hanya menyisakan dampak negatif dari sisi kesehatan. Seperti dilansir dari situs alodokter.com, sering begadang dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit, seperti diabetes, obesitas, tekanan darah tinggi, dan penyakit jantung. Sehingga, dikhawatirkan kebiasaan ini akan “merusak” tubuh dalam jangka panjang.
Pada kesempatan lain, syariat memberi rambu-rambu atas begadang yang kelewatan. Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam Bidayah Al-Hidayah, mengatakan, “badanmu kendaraanmu”. Beliau mengingatkan jangan sampai memaksa “mesin” dalam tubuh kita overload, bekerja tanpa henti. Firman Allah dalam Al-Qur’an, “Dan Dia-lah yang menjadikan malam untukmu (sebagai) pakaian, dan tidur untuk istirahat. Dan Dia menjadikan siang untuk bangkit berusaha” (Q.S. Al-Furqan [25:47]), menganjurkan secara eksplisit tidur cukup pada waktu malam.
Dilansir dari hellosehat.com, secara umum tubuh perlu istirahat sekitar 7-9 jam di malam hari. Meskipun begitu, kualitas tidur tiap orang berbeda-beda tergantung faktor tertentu yang memengaruhi jam tidurnya. Di antara faktor yang menjadikan tidur tak teratur adalah lingkungan yang bising, pengaruh kafein, dan hustle culture lifestyle (gaya hidup gila kerja).
Arfina Arfa (2021) dalam artikelnya bertajuk The Truth About the Hustle Culture, memberi komentar atas hustle culture ini sebagai the state of overworking to the point where it becomes a lifestyle. Memaksa diri beraktivitas secara berlebihan, sampai jadi gaya hidup. Contohnya seperti belajar, mengerjakan tugas, atau bekerja sampai larut malam, yang semuanya mengorbankan waktu tidur.
Gaya hidup begadang cukup menjadi problematika tragis. Tidak remaja sedikit hingga dewasa yang meregang nyawa sebab kebiasaan itu. Oleh karena itu, memosisikan diri dalam arus stabil, tidak berlebihan (tidur secukupnya) semestinya menjadi renungan kita kembali. Meskipun demikian, akan tetap ada godaan dan tantangan yang bisa datang kapan saja.
Sebagai manusia biasa, kita tentu harus memegang prinsip bahwa menghindari “bahaya”, dampak negatif, adalah wajib menurut kaidah fiqh. Membagi waktu produktif menjadi: Delapan jam bekerja, delapan jam beribadah, dan delapan jam istirahat, seperti yang dituntunkan Imam Al-Ghazali dalam Ihya al-Ulumuddin, perlu dipertimbangkan ulang. Dalam arti, kita tidak hanya menjadi “seonggok jiwa yang tak berguna”, kata Jean Paul Sartre. Tetapi, manusia yang punya ritme hidup, kapan ngerem dan ngegas .
Penulis : Fahri Reza Muhammad
Daftar Rujukan
Bidayat al-Nihayah, Abu Hamid Al-Gazhali, t.thn.
Ihya al-Ulumuddin, Abu Hamid Al-Gazhali,
Min Thollab Al-‘Ilm Sahrul Layyal wa Jab Al-Barari, Ibnu Rafiq, t.thn.
Manaqib Imam As-Syafi’i, Fakhruddin Ar-Razi, t.thn.
Menjadi Manusia Rohani: Meditasi-Meditasi Ibn Athoillah dalam Kitab Al-Hikam, Ulil Abshar Abdalla, 2020.
https://www.alodokter.com/banyak-kondisi-buruk-menanti-anda-karena-efek-begadang
https://hellosehat.com/pola-tidur/jam-tidur-yang-baik/?amp=1