Apa yang diasumsikan masyarakat modern sekarang, khususnya masyarakat awam, Kanjeng Nabi selalu ditembak asumsi sebagai orang “buta huruf”. Atau mungkin dianggap sebagai seseorang yang tidak mampu membaca dan menulis. Selebihnya, perdebatan di ruang diskusi adalah memberi aksentuasi pada penilaian yang tepat untuk Kanjeng Nabi, apakah beliau orang yang “buta huruf” atau “orang yang tidak mampu membaca dan menulis”. Dan bila kita melihat akar permasalahannya terletak pada interpretasi makna “al-ummi”.
Pada tulisan ini saya tidak menekankan pengunggulan makna apa yang lebih tepat terhadap arti al-ummi itu. Toh “buta huruf” dengan “tidak mampu baca-tulis” juga artinya sama saja. Hanya saja dalam masyarakat kita diksi “buta” terkesan cenderung negatif. Seakan Kanjeng Nabi seorang yang “bodoh”. Padahal dalam linguistik hal semacam itu perihal peningkatan dan penurunan nilai saja (ameliorasi-peyorasi). Gak iso moco-tulis yo kui artine “buta huruf” barang.
Allah berfirman dalam surat Al-Ankabut ayat 48:
وَمَا كُنتَ تَتْلُوا۟ مِن قَبْلِهِۦ مِن كِتَٰبٍ وَلَا تَخُطُّهُۥ بِيَمِينِكَ ۖ إِذًا لَّٱرْتَابَ ٱلْمُبْطِلُونَ
“Dan kamu tidak pernah membaca sebelumnya (Al-Quran) sesuatu Kitab pun dan kamu tidak (pernah) menulis suatu Kitab dengan tangan kananmu; andaikata (kamu pernah membaca dan menulis), benar-benar ragulah orang yang mengingkari(mu).”
Mukhatab (lawan bicara) dalam penggalan ayat di atas ditujukan kepada Muhammad saw. Tetapi sayangnya masyarakat terlempar fokusnya kepada pemaknaan “apakah Nabi Muhammad betul-betul tidak bisa membaca dan menulis?”. Jika kita sedikit lebih peka, kutipan ayat dalam surat Al-Ankabut itu sebetulnya bukan menyoal Nabi bisa baca-tulis atau tidak, tetapi menyalurkan muatan pengertian akan orisinalitas Al-Quran serta kejujuran Nabi.
Jarang kita menggarisbawahi. Kanjeng Nabi memang tidak dapat membaca dan menulis, tetapi seluruh perjuangan beliau dibaca dan dituliskan orang lain. Kanjeng Nabi tidak pernah mem-branding dirinya, tetapi orang lain yang mem-branding beliau. Itu melukiskan betapa dahsyatnya keikhlasan hati Nabi Muhammad dalam menyampaikan ajaran yang benar, jernih, jujur, dan bersih.
Saya pun sebetulnya agak ragu apakah memang Nabi tidak mampu membaca serta menulis? Sedangkan dalam rentang waktu kehidupan beliau, beliau menjabat sebagai pemimpin agama sekaligus pemimpin negara. Bagaimana mungkin beliau dapat mengorganisasi seluruh problematika umat andai Nabi sendiri tidak mampu baca-tulis?
Perlu ditekankan, Nabi menunggangi dua beban yang amat berat. Pertama, dalam dimensi religius beliau mengampu posisi sebagai Rasul. Artinya konsentrasi hati dan pikirannya tidak boleh lalai dari mengingat Allah dalam semua kondisi. Kedua, dalam taraf kehidupan sosial, beliau mengampu sebagai pemimpin wilayah, atau bahasa lainnya pemimpin negara.
Di sisi lain ada riwayat yang menuturkan Nabi pernah mengeja tulisan ka-fa-ra (kafir) di dahi Dajjal. Begitu juga penggantian nama “Rasulullah” oleh Nabi sendiri dalam naskah Perjanjian Hudaibiah menjadi “Ibn Abdillah”. Itu sebetulnya sedikit indikasi sepertinya Nabi mampu membaca dan menulis. Justifikasi Kanjeng Nabi sebagai al-ummi (tidak mampu baca-tulis) adalah upaya penanaman keyakinan kepada masyarakat nonmuslim bahwa Al-Quran adalah benar-benar wahyu yang diturunkan langsung oleh Allah Swt melalui Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw.
Lanjutnya, atau Nabi sebetulnya hanya diperintah Allah untuk jangan menulis dan membaca apapun. Jadi tidak betul-betul Nabi tak mampu untuk baca-tulis. Upaya pelabelan “al-ummi” kepada Nabi, sepertinya, cara terampuh dalam meyakinkan orisinalitas Al-Quran kepada masyarakat waktu itu. Karena ada juga ulama yang berpendapat makna “al-ummi” itu sebenarnya melambangkan sifat nabi yang keibuan (melayani, mengasihi, mengayomi), bukan buta huruf.
Saya merasa pemaknaan terhadap “huruf” juga bukan sekadar dalam pengertian leksikal-gramatikal. Tetapi juga dipahami dengan kondisi sosial, alur pola hidup, gerak pemahaman, serta format iklim wilayah. Demikian juga pemaknaan terhadap “membaca”. Membaca itu juga termasuk mengamati, observasi, memantau.
Melihat makna surat Al-Ankabut sebelumnya, yang dimaksud dalam Al-Quran tentang “huruf” dan “membaca” kepada Nabi, hanyalah dalam koridor leksikal-gramatikal saja, bukan ditafsirkan pada semua lini. Jadi hakikatnya Nabi Muhammad adalah manusia yang sangat ahli dalam menulis dan teliti dalam membaca.
Nabi Muhammad adalah sosok manusia permata yang amat pintar, cerdas, pandai, jenius. Kelihaian beliau dalam membaca huruf-huruf kehidupan tidak diragukan. Pada taraf IQ (intellectual quotient), EQ (emotional quotient), dan SQ (spiritual quotient), Kanjeng Nabi menempati posisi nilai tertinggi. Coba saja kita bandingkan dengan semua tokoh terkenal di dunia ini, baik yang masih hidup ataupun telah wafat, yang dalam segi IQ, EQ, dan SQ-nya mengungguli semua layaknya Kanjeng Nabi? Dipastikan tidak ada. Hampir seluruh tokoh-tokoh dunia itu memiliki sisi gelap (dark side) di balik keterkenalannya.
Kita semua tidak dapat memastikan apakah Nabi sebenarnya memang tidak bisa baca-tulis, atau sesungguhnya Nabi seseorang yang mampu baca-tulis. Kita semua tidak dapat memastikan. Yang dapat kita pastikan adalah Nabi sosok permata yang tidak pernah menulis sejarahnya, tetapi orang lain yang menuliskannya. Nabi sosok yang tidak pernah menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan, tetapi orang lain yang menuliskan pemikiran beliau. Inti dari itu semua adalah keikhlasan Kanjeng Nabi dalam memperjuangkan agama Islam.
Hampir semua tokoh-tokoh besar dunia, mereka menjadi terkenal karena menuangkan pemikirannya dalam bentuk tulisan. Dan beberapa pemikiran-pemikirannya diperoleh dari buku atau referensi teks yang pernah mereka baca. Sedangkan Nabi, seluruh pemikiran serta keterkenalannya adalah murni ditinggikan oleh Allah Swt, baik dunia ataupun akhirat. Lho piye Kanjeng Nabi ora tau moco, ora tau nulis, kok iso terkenal. Opo meneh nek ora mergo diagungkan karo Pengeran. Keteladanan semacam ini yang harus kita napak tilasi bersama.
Tulisan ini tentang bagaimana kita mencoba menjelajahi makna nilai yang lebih tersembunyi, bagaimana kita tidak terbodohi pemaknaan sempit suatu diksi. Melepaskan segenap keangkuhan kita dalam memaksakan kebenaran terhadap orang lain. Berpikir secara kritis dan universal dalam menguliti suatu persoalan.
___
Lorem ipsum, dolor sit amet consectetur adipisicing elit. Harum nemo provident alias optio natus. Vero porro iste nesciunt officiis tempore.
1 Comment
ibu ida
Masya Allah. Tabarokallah.