Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ngaji Ekologi: Peran Kita dalam Merawat Bumi

Merawat Bumi. Sumber: Unsplash.com

Pekan lalu, tepat di awal Agustus, ketika melaksanakan rutinitas pengajian kitab Idhohul Mubham bersama KH. M. Munawwar Ahmad, terdapat sebuah pesan yang menarik. Jika melihat lebih jauh, sebenarnya kitab ini memang termasuk dalam bagian dari ilmu Mantiq. Ilmu yang mencakup banyak hal besar dan jangkauannya memang luas.

Ilmu mantiq merupakan ilmu yang berasal dari para pemikir tersohor dari Yunani. Dalam sejarahnya, pencetus ilmu logika ini adalah Socrates yang kemudian dilanjutkan oleh Plato dan disusun secara rapi oleh Aristoteles. Ketika agama Islam telah tersebar di Jazirah Arab dan dipeluk secara meluas sampai ke bagian Timur dan Barat, perkembangan ilmu pengetahuan pun mengalami kemajuan yang pesat. Puncaknya terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah.

Dalam periode inilah terjadi penerjemahan ilmu-ilmu filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, termasuk ilmu mantiq. Dalam Islam, ilmu mantiq mulai diperkenalkan oleh Al-Farabi, salah satu filsuf Muslim yang sering dinyatakan sebagai maha guru kedua dalam ilmu pengetahuan. Pada masa Al-Farabi ini, ilmu mantiq dipelajari lebih rinci dan dipraktikkan. Selain itu, para ulama juga semakin mendalami, menerjemahkan, dan mengarang karya dalam bidang ilmu mantiq.

Kembali ke sesi pengajian, ketika memasuki bab pembahasan lafadz atau فصل في مبا حث الالفاظ, beliau menjelaskan perihal lafadz sajarun atau pohon. Beliau tidak hanya membahas mengenai pelajaran ini. Namun, memantik pembicaraan tentang pohon secara luas sebagaimana fungsi mantiq yang harusnya membuat pemikiran semakin kritis.

Pembahasan berjalan mengenai pohon dan keterkaiatan dengan lingkungan. Sebagaimana diketahui bahwa isu lingkungan merupakan sebuah hal yang penting. Terutama deforestasi atau penebangan pohon yang sudah mencapai tahap mengkhawatirkan. Menurut data dari Mongabay, dalam kurun waktu 2002 hingga 2022 bumi mengalami kehilangan hutan lebih dari 6 juta hektar. Sebuah angka yang fantastis.

Dalam kerusakan ini, menurut beliau tidak lain disebabkan oleh manusia. Beliau menukil sebuah ayat di dalam Al-Qur’an yang berbunyi:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ

Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” Q.S. Ar-Rum Ayat 41.

Meskipun manusia merupakan penyebab kerusakan terutama deforestasi. Beliau mengingatkan kepada para santri, untuk tidak menjadi golongan perusak dan peduli tentang masalah ini. Termasuk untuk meminimalisir penggunaan kertas. Sebagai salah satu kebutuhan yang tidak terpisahkan, kertas memang menjadi aspek yang tidak bisa digantikan. Namun, penggunaan kertas yang tidak bijak bisa menjadi sebuah ancaman. Terutama jika melihat bahan baku kertas yaitu pohon.

Dalam persoalan tersebut, beliau menyinggung persoalan Konvensi Paris, ketika negara-negara maju sepakat membayar kepada para negara penghasil oksigen terbesar di dunia yang menjadi bukti bahwa keberadaan pohon begitu berharga bagi dunia ini. Pohon menjadi barang yang mahal. Kebijaksanaan dalam penggunaan kertas ini menjadi aspek yang harus dilakukan oleh berbagai pihak terkhusus santri.

Tidak hanya dengan persoalan pohon, kepedulian beliau pun sejalan dengan sikap dalam mengelola sampah. Hal ini tercermin ketika beliau begitu antusias dalam pengelolaan sampah di pesantren. Beliau menekankan untuk para santri peduli dan mulai mengelola sampah dengan cara memilah jenis-jenis sampah.

Terkhusus di Jogja, volume sampah yang mencapai 1000 ton perhari menjadi bukti dari daruratnya persoalan ini sehingga membuat TPS Piyungan tutup karena tidak kuat menampung sampah. Peran masyarakat tentu dibutuhkan terhadap hal ini, setidaknya sampah harus diselesaikan lingkup terkecil, salah satunya dari pesanten. Beliau ingin para santri untuk tidak apatis dan tidak hanya mengandalkan lembaga pengelola sampah. Para santri harus peduli dan mandiri dalam mengelola sampah.

Tidak berhenti di situ, pesan lain beliau yaitu tentang hidup minimalis. Menggunakan barang secukupnya, termasuk plastik. Plastik merupakan barang yang menjadi masalah bagi alam sekitar. Bayangkan saja sampah plastik tersebar di berbagai tempat. Laut sampai daerah pegunungan. Proses terurai plastik pun terbilang lama sehingga penggunaan plastik harus dibatasi dengan membawa kantung belanjaan sendiri. Kebijakan pembatasan plastik harus didukung sebab menjadi niat yang baik untuk kita semua.

Kaitannya dengan niat, beliau mengkorelasikan dengan dua kisah dari makhluk kecil yang di dalamnya kita bisa mengambil ibroh.

Pertama, kisah cicak dan laba-laba;

Diceritakan bahwa alasan Nabi Muhammad Saw membenci cicak yakni karena suaranya di dalam gua yang menjadikan tempat persembunyian Nabi menjadi terbongkar oleh musuh. Suatu kisah, ketika Rasulullah SAW bersembunyi di gua Tsur, tiba-tiba terdengar suara cicak sehingga menarik perhatian kaum Quraisy untuk masuk ke dalam gua.

Namun persembunyian tersebut gagal ditemukan dikarenakan terdapat laba-laba. Binatang tersebut menolong Nabi yang sedang bersembunyi dengan jaring-jaring yang terbentang di gua sehingga akhirnya para musuh tidak jadi melangkah ke dalam gua karena menganggap tempat ini tidak mungkin dimasuki oleh manusia.

Kedua, kisah cicak dan burung;

Diceritakan bahwa cicak meskipun hewan yang begitu kecil tapi membantu meniup api yang dibuat raja Namrud untuk membakar tubuh nabi Ibrahim. Di satu sisi terdapat seekor burung yang membantu memadamkan api dengan membawa air. Meskipun tidak berpengaruh dalam kobaran api tersebut, niat kedua hewan ini menjadi sebuah pembeda.

Laba-laba dan burung tersebut dicintai oleh para nabi dan bahkan ada yang masuk surga. Sebaliknya dengan cicak yang dibenci oleh Rasulullah Saw. Perbedaan niat dan sikap dari dua makhluk tersebut menjadi sebuah refleksi bagi kita dalam mencoba merawat bumi. Meskipun kita hanya individu yang mungkin tidak memiliki dampak serta kuasa seperti tokoh publik atau regulator kebijakan. Setidaknya niat dan langkah kecil yang dilakukan bisa menjadi sebuah catatan kebaikan yang mampu menyelamatkan kita kelak di akhirat. Terlebih melepas tanggung jawab kita sebagai salah satu khalifah di muka bumi.

Pesan tersebut menjadi bagian penting dari ngaji ekologi bersama beliau, Kiai Munawwar. Menjaga lingkungan adalah kewajiban bersama. Oleh karena itu, jangan remehkan niat dan langkah kecil sekalipun karena bisa jadi hal tersebut yang membawa kita mendapat ridho-Nya.

Wallahu A’lam.

Penulis: Ajie Prasetya

Leave a Comment