Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

#NgajiMinhaj: Bisakah Kita Mensyukuri Musibah?

Kerap kita mendengar seruan atau ajakan agar kita para manusia ini senantiasa bersyukur kepada Allah baik di awal sambutan, khutbah, pengajian, dan lain sebagainya. “Syukur” menjadi kata yang tak asing bagi telinga kita, lalu lengkap dengan dalil-dalilnya. Tapi pernahkah kita berpikir apa semestinya objek dari syukur? Atau apa sebenarnya yang hendaknya kita syukuri?

Pertama-tama, sudah maklum bahwa hal yang disyukuri adalah nikmat-nikmat Allah, baik itu nikmat diniyyah ataupun nikmat dunyawiyyah, baik itu nikmat muthlaqoh atau muqoyyadah. Imam Ghazali juga menuturkan hal tersebut.

Tetapi adakah kita harus mensyukuri musibah dan kesusahan-kesusahan di dunia? Di sinilah para ulama berbeda pendapat. Ada yang mengatakan, menghadapi musibah bukanlah dengan syukur, melainkan dengan sabar (syukur hanya berlaku untuk nikmat). Namun ulama yang lain mengatakan, bahwa hamba harus mensyukuri musibah, karena tiap musibah mengandung nikmat. Dengan kata lain, seorang hamba harus mensyukuri nikmat yang ada pada sebuah musibah. Apa itu nikmat di balik sebuah musibah?

Ibnu Umar mencontohkan hal ini dengan sangat baik dalam salah satu maqolahnya, “Tidaklah aku diberi musibah, melainkan Allah juga memberikan empat nikmat di dalamnya: musibah itu bukan mengenai agamaku, musibah itu tidaklah lebih besar, musibah itu tidak menghalangiku mendapat ridho-Nya, dan aku bisa mengharapkan pahala dari musibah itu.”

Ada juga yang memberikan pendapat lain. Bahwasannya musibah dan cobaan dunia harus disyukuri oleh seorang hamba, dengan dasar bahwa musibah sejatinya adalah sebuah kenikmatan. Buktinya, musibah bisa mengantarkan seorang hamba pada kemanfaatan serta balasan yang agung di akhirat. Perumpamaan sederhananya adalah sebuah obat yang memberikan kesembuhan untuk sakit kita. Meski tampaknya obat itu sangat pahit, tidak sedap, mengganggu kenyamanan lidah, tapi nyatanya obat itu bisa menghilangkan penyakit kita. Bukankah sembuh adalah kenikmatan?

Dan lagi, musibah sebagai sebuah kenikmatan akan lebih nyata jika kita tidak mereduksi makna kenikmatan itu sendiri. Kita tahu umumnya orang mengatakan nikmat adalah kelezatan, senang-senang, dan apa yang disukai nafsu. Padahal nikmat lebih dari itu, yaitu apa yang dapat meninggikan derajat. Maka tidak hanya nikmat yang patut disyukuri oleh kita semua tetapi musibah dan cobaan-cobaan lain yang menimpa.

*Catatan ini dirangkum dari pengajian Minhajul Abidin yang diampu oleh KH. M. Munawwar Ahmad (Malam Sabtu, 3 September 2021).

Leave a Comment

0.0/5