Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pengalaman dan Ajaran Ulama Al-Quran Tentang Islam Wasatiyah

Islam wasatiyah
Sumber : Tim Media almunawwir.com

Mengajarkan Islam wasatiyah menjadi salah satu tantangan ulama al-Quran di nusantara. Pengalaman mereka selama ini menunjukkan bahwa masyarakat, termasuk para pelajar al-Quran, tidak cukup hanya dengan menghafal al-Quran, tapi juga perlu mempelajari bagaimana memahami al-Quran dan ajaran-ajaran wasatiyah yang terkandung di dalamnya. Setidaknya hal inilah yang tercermin dalam diskusi sesi panel ke-2 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak pada rabu (16/11), dalam rangka Multaqa Ulama Al-Quran Nusantara.

KH. Sa’dullah, salah satu narasumber, menceritakan begitu banyak tantangan yang dihadapinya ketika mensosialisasikan Islam wasatiyah di tengah masyarakat, khususnya di Jawa Barat di mana ia tinggal. Dan menurutnya, tahfiz al-Quran merupakan salah satu dakwah dari kelompok radikal.

“Masyarakat itu rentan dibodohi kelompok radikal dengan bukti ijazah (tahfiz al-Quran) dan kecepatan (menghafal),” tutur pengasuh pesantren al-Hikamussalafiyyah Sumedang tersebut.

Oleh sebab itu, menurut Kiai Sa’dullah, para pelajar al-Quran perlu aktif di organisasi yang berasaskan Islam wasatiyah. Beliau berkaca dari pengalaman dirinya sendiri. Saat masih mahasiswa, meski berada di pesantren, beliau aktif di organisasi yang di kemudian hari diketahui sebagai organisasi radikal. Bahkan, karena hafiz al-Quran, beliau juga diajak menjadi pengurus partainya.

“Alangkah baiknya anak-anak dikenalkan wasatiyyah lewat ormas seperti NU…” ungkap Kiai Sa’dullah. “Huffaz itu jangan mengurusi santri saja, tapi juga perlu masuk ke dunia seperti itu”.

Prof. Abdul Mustaqim menambahkan, bahwa apa yang diceritakan Kiai Sa’dullah merupakan ajang kontestasi. Ada beberapa pihak yang hendak menghilangkan sanad ulama-ulama nusantara, dan membawanya langsung ke timur tengah. Padahal, menurutnya, wasatiyah merupakan karakter dasar Islam.

Untuk itu, Prof. Mustaqim memberikan empat ciri Islam wasatiyah. Yaitu, tasamuh, anti kekerasan, tawazun, dan mengapresiasi kebudayaan sejauh tidak bertentangan dengan prinsip dasar syariah.

“Islam memang budaya, tetapi ia tidak bisa diartikulasikan dengan baik tanpa budaya,” sebut guru besar UIN Sunan Kalijaga tersebut.

Sementara itu, KH. Afifuddin Dimyati menuturkan bahwa wasatiyah adalah insaniyyah atau manusiawi. Dan, menurutnya, dakwah dan mengamalkan wasatiyah memiliki beberapa tantangan.

Pertama, berlebih-lebihan dalam agama. Hal ini senada dengan QS. An-Nisa’ ayat 171. Meski di situ mukhotob-nya adalah ahli kitab, tapi juga bisa qiyas pada orang-orang Islam. Dalam diksi lain, orang yang berlebih-lebihan ini disebut juga dengan al-mutasyaddid, atau berarti memberatkan diri sendiri.

“Satu bulan khatam (al-Quran), dua bulan khatam, itu juga bisa termasuk mutasyaddid ini,” tutur pengasuh pesantren Darul Ulum Jombang tersebut.

Kedua, menggampangkan atau meremehkan agama. Poin ini kebalikan dari poin pertama. Dan termasuk di dalamnya adalah meremehkan orang lain. Menurut Kiai Afifuddin, hafiz al-Quran juga rentan memendam sifat ini. Karena itulah Kiai Afifuddin sangat tidak senang jika hafiz atau tidaknya seseorang dijadikan cara untuk menilainya.

“Seakan-akan kalau sudah hafal semua (ayat al-Quran), ibadahnya mudah diterima,” tegas Kiai Afifuddin. “Saya mencintai ulama al-Quran karena pengamalannya (terhadap ajaran al-Quran), bukan hafalannya”.

Ketiga, ketidaktahuan tentang agama. Menurutnya, seorang anak tidak cukup hanya mempelajari dan menghafal al-Quran saja, tapi juga perlu mempelajari ilmu-ilmu lain, utamanya ilmu pokok agama seperti fiqh dan tauhid.

“Jadi menjadi santri tahfiz itu ya harus ngaji. Sehingga tidak menjadi hafiz yang jahil,” ujar Kiai Afifuddin.


Reporter : Ahmad Zamzama NH.

Leave a Comment