Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Peran Santri terhadap Bangsa di Era Post-Truth

Di era digital sekarang, semua orang dapat mengakses berbagai hal, mulai dari yang bermanfaat sampai kemaksiatan daring yang merajalela. Setiap hal dapat kita amati dengan alat yang selalu di genggaman kita. Tidak hanya itu, banyak sekali kabar yang kurang enak kita dengar, bahkan sebagian orang merasa miris karena kerap kali melihat kerusakan yang terjadi. Mulai dari kemerosotan akhlak, kemaksiatan, sampai penyimpangan kebijakan oleh pemerintah.

Berita yang simpang siur kebenarannya, banyaknya fitnah, dan provokasi membuat seseorang mudah mengalami krisis kepercayaan. Masalah utama yang muncul di periode pascakebenaran adalah meluasnya kebohongan di semua aspek kehidupan manusia. Penyebaran berita palsu demi mempengaruhi opini publik di beberapa domain, seperti politik dan agama, menjadi taktik ampuh mencapai tujuan provokatif.1 Budaya menaruh kepercayaan kepada seorang guru, orang tua, pemimpin hingga agama pun kian mengalami penurunan. Siapa pun akan kesulitan untuk terhindar dari fitnah yang dilandaskan atas provokasi dari pihak yang berbeda paham.

Santri merupakan kader bangsa yang dipersiapkan untuk mendalami berbagai cabang keilmuan, khususnya agama. Mereka rela untuk berada jauh dari keluarga dan berfokus membekali diri dengan muatan keilmuan yang dipelajari di pesantren. Lulusan pesantren diharapkan menjadi sosok religius cum nasionalis sebagaimana diteladankan guru kita, K.H. Maimun Zubair. Mereka diharapkan mampu membumikan muatan keislaman, serta menjadi solusi pertikaian yang mendamaikan masyarakat.

Sebagaimana dikutip dari pernyataan Wakil Presiden RI Ke-13, K.H. Ma’ruf Amin, bahwa seusai masa belajar, santri tumbuh menjadi seorang ulama/kiai yang memiliki dua tanggung jawab, yaitu tanggung jawab ketuhanan (mitsāq rabbāni) dan tanggung jawab kebangsaan (mitsāq wathāni). Mitsāq rabbāni adalah suatu kesepakatan atau tanggung jawab para nabi kepada Allah Swt., sebagaimana dalam Al-Quran Surah Al-Ahzab ayat 7.

“(Ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari para nabi, darimu (Nabi Muhammad saw.), dari Nuh, Ibrahim, Musa, dan Isa putra Maryam. Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.”

Dalam hal ini, ulama memiliki tanggung jawab yang sama dengan para nabi sebagaimana riwayat Imam Abu Dawud, “Ulama merupakan pewaris para nabi”.2

Ulama dalam menjalankan mitsāq rabbāni berarti memberikan kontribusi dalam penyebaran agama Islam pada umat manusia. Sampai pada akhirnya, Islam tetap membumi dan diimplementasikan di kehidupan sehari-hari. Kreativitas dan inovasi metode dakwah merupakan kunci tersampaikannya risalah-risalah agama yang merasuk ke dalam sanubari umat. Barometer minimal seorang pendakwah, menurut Syekh Nawawi Al-Bantani adalah “seseorang yang memiliki pengetahuan agama, mengetahui kondisi masyarakat (hāl), serta mengatur manusia (siyasah an-nās).3 Oleh karena itu, pendakwah seharusnya mengajak kepada kebenaran dan mencegah kemungkaran, bukan malah sebaliknya: bersikap halus atau keras sesuai kondisi.

Sebagaimana pesatnya pertumbuhan digital, periode pascakebenaran (post-truth) dapat didefinisikan sebagai “era di mana terdapat kurangnya perbedaan antara yang benar dan yang salah”4, yang sekaligus menjadi tantangan bagi ulama untuk menyampaikan pesan. Maraknya fitnah dan provokasi yang bisa dilakukan siapapun melalui ponsel genggam dan media sosialnya, diperlukan adanya kredibilitas dan mental yang kuat dalam memperjuangkan risalah kebenaran agama Islam. Yang mana pada masa ini terkadang orang salah pun akan mendapat perhatian manusia karena penampilan luarnya dan orang benar mendapat cacian dan ujaran kebencian. Tantangan ini hanya mampu dijawab dengan mengembalikan kemurnian risalah itu sendiri, tanpa mengikuti apa yang diinginkan oleh para manusia, yang belum tentu sesuai dengan ajaran Islam.

Menurut Syekh Ibnu Ajibah dalam kitab Iqadzul Himam, hal tersebut bisa diraih oleh seseorang santri yang memang sudah lulus dari proses belajar. Beliau menyarankan agar seorang santri tetap berada pada jalan guru dan keluarganya hingga santri tersebut sempurna keyakinannya, lalu perilakunya telah mendapatkan petunjuk, menjadi mandiri dengan dirinya sendiri. Tanda-tanda kemandirian itu dilihat dari kemampuan mengambil sesuatu sesuai kapasitas, tidak memiliki perilaku yang mengurangi wibawa, mengetahui tentang ketuhanan, dan mengetahui tentang berbagai hal keilmuan. Pada saat itu, seorang santri merupakan pribadi yang mandiri, tidak mudah dikendalikan oleh keinginan orang sekitar, dan telah memiliki keahlian untuk mengajak dan memberikan petunjuk bagi orang lain.5

Adapun mitsāq wathani atau tanggung jawab kebangsaan bagi seorang santri dan generasi penerus bangsa terbagi menjadi dua aspek. Aspek pertama ialah memastikan kehidupan di negeri ini tetap religius; memastikan umat Islam di negeri ini tetap bersujud, beriman, dan menghamba kepada Allah Swt.; serta memastikan risalah islamiyyah terus-menerus tersampaikan kepada umat di seluruh penduduk negeri dan masuk ke sanubari mereka. Hal ini semata-mata untuk meraih kesejahteraan melalui peran kita sebagai penerus bangsa, dalam melestarikan perjuangan para pejuang proklamasi, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-A’raf ayat 96

“Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi.”

Selanjutnya, aspek kedua adalah kewajiban mengingatkan pemerintah selaku pemangku kekuasaan agar tetap berada dalam koridor yang sesuai dengan syariat, dan tidak ada pihak terzalimi. Kewajiban tersebut merupakan bentuk amar makruf nahi munkar kepada pemimpin, bagi umat Islam sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Bentuknya yang bisa dilakukan adalah memberikan nasihat yang baik sebagaimana diutarakan oleh para ulama syafiiyyah.6

Kesimpulannya, mitsāq rabbani dan mitsāq wathani merupakan dua hal yang saling melengkapi, yang menunjukkan peran santri terhadap bangsa. Dengan keilmuan yang dimiliki, santri urun menjaga kedaulatan negara dan kesejahteraan masyarakatnya. Semoga rakyat Indonesia tetap mendapatkan rahmat dan pertolongan dari Allah Swt. Merdeka!

Penulis: Muhammad Khoiru Ulil Abshor

Editor: Fahri Reza M.

  1. Budi Kurniawan, “Politisasi Agama di Tahun Politik Pasca Kebenaran di Indonesia dan Ancaman bagi Demokrasi”, Jurnal Sosiologi Agama, 12(1): 135 ↩︎
  2. Imam As-Shina’i, Subul as-Salam, (I/90), https://app.turath.io/book/1082?page=94 ↩︎
  3. Nawawi Al-Jawi, Marah al-Labiid Jilid I, Beirut: Daar Kutub Al-Ilmiyyah, hlm. 144. ↩︎
  4. Ulya, “Post Truth, Hoax, dan Religiusitas di Media Sosial”, Fikrah: Jurnal Akidah dan Studi Keagamaan, 6(2), 238. ↩︎
  5. Ibnu Ajibah, Iqadzul Himam, Daar Al-Maarif, hlm. 408 ↩︎
  6. Lihat Tuhfah al-Muhtaj, Hasyiyah al-Jamal, dan Mughni al-Muhtaj, Bab Amar Makruf Nahi Munkar ↩︎

Leave a Comment