Sebelum kedatangan nabi muhammad, yastrib (nama awal kota Madinah) adalah kota yang terkenal unggul dalam pertanian dan perkebunan. Di dalamnya terdiri dari berbagai wilayah kecil terpecah-pecah, setiap suku menempati daerahnya masing-masing. Di sana tinggal dua suku Arab besar, Aus dan Khazraj, yang sudah terlibat konflik satu sama lain selama lebih dari 1 abad. Konflik ini membuat ketidakstabilan keamanan dan ekonomi di Madinah. Selain itu, terdapat pula tiga suku Yahudi besar (Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Qurayzah) yang sudah lebih dahulu bermukim di Yatsrib. Agama penduduk kota sangat beragam. Mayoritas menganut agama Yahudi yang dibawa kaum imigran utara, beberapa komunitas kecil Nasrani (Kristen), seperti Bani Najran, sedangkan suku dari Arab, lebih banyak menganut paham paganisme. Hubungan antarkelompok masih tegang dan sulit bersatu karena kemajemukan masyarakat di Yastrib belum didukung persatuan antar kelompok. Masing-masing kelompok masih mencoba mengambil keuntungan dari kelompok lain dan menjadi yang paling unggul.
Strategi Hijrah dan Diplomasi Nabi Muhammad Saw.
Menjelang hijrah (622 M), penduduk Madinah dari suku Khazraj dan Aus menyadari perlunya persatuan agar kaum Yahudi tidak mendominasi kota mereka. Dari sinilah muncul peristiwa Baiat Aqabah. Pada musim haji tahun 620 M, enam orang utusan Madinah berkunjung ke Makkah dan bertemu Nabi Saw di bukit Aqabah. Dalam pertemuan itu, mereka menerima ajaran Islam dan pulang menyebarkannya di Yatsrib. Setahun berikutnya (621 M), terjadi Baiat Aqabah pertama, saat 12 wakil Madinah berjanji setia kepada Nabi dan mengundangnya ke kota mereka. Kemudian, pada tahun 622 M terjadi Baiat Aqabah kedua yang lebih besar, melibatkan 73 laki-laki dan 2 wanita Yatsrib. Mereka menerima Nabi sebagai pemimpin politik dan menjamin keselamatan beliau beserta pengikutnya. Dalam baiat ini, terbentuk “persekutuan” politik pertama antara Nabi Saw. dan penduduk Madinah sebagai fondasi negara Islam.
Ketika Nabi Muhammad Saw. tiba di Madinah, beliau tidak bertindak sebagai penakluk, melainkan sebagai pemimpin baru yang diterima semua pihak. Langkah awal beliau adalah mempersatukan kaum Muhajirin (migran Makkah) dengan kaum Ansar (penduduk Madinah), melalui ikatan persaudaraan dua-satu. Kemudian, Nabi membangun aliansi inklusif dengan suku-suku Yahudi melalui perjanjian damai yang menjamin kebebasan beragama dan hak berwakaf mereka. Seluruh komponen masyarakat (muslim dari berbagai suku dan pemuka Yahudi) dilibatkan dalam struktur pemerintahan secara musyawarah. Pendekatan ini bukan hanya menenangkan umat yang lelah akan peperangan suku, tetapi juga meletakkan landasan sosial-politik stabil bagi umat Madinah.
Isi dan Prinsip Utama Piagam Madinah
Di dalam riwayat Sahih Bukhari Muslim, Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal menyebut Piagam Madinah ini dikenal dengan sebutan “shahifah, al-Kitab atau watsiqah”. Pada perkembangan berikutnya, para peneliti mengartikannya dengan ‘perjanjian, undang undang, konstitusi atau piagam’. Mengenai isi piagam tersebut, menurut Suyuthi Pulungan (1994), memuat 47 pasal yang mengatur kehidupan bersama penduduk Madinah. Inti piagam ini adalah membentuk ummah (komunitas) yang berlandaskan keadilan, kesetaraan, dan saling mengikat antarwarga. Misalnya, menetapkan bahwa “seluruh kaum Muslimin dan Yahudi yang tergabung dalam perjanjian [ini] dikategorikan sebagai satu umat dan wajib berjuang bersama” untuk pertahanan kota. Artinya, setiap kelompok wajib bersatu membela Madinah dari ancaman luar. Piagam itu juga menegaskan agar tidak ada pihak yang membuat persekutuan baru tanpa izin pemerintah (Rasulullah). Selanjutnya, ditegaskan bahwa Madinah adalah kota suci, perang dan pertumpahan darah hanya dibenarkan melawan pihak yang benar-benar mengancam keamanan dan kerukunan masyarakat. Menurut Munawir Sadzali (1995), batu-batu dasar yang telah diletakkan oleh Piagam Madinah sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk masyarakat majemuk di Madinah antara lain
1. Semua pemeluk Islam, meskipun dari banyak suku, tetapi merupakan satu komunitas
2. Hubungan antara sesama anggota komunitas Islam dan antara anggota komunitas Islam dengan anggota komunitas komunitas lain didasarkan atas prinsip-prinsip:
a. Bertetangga baik
b. Saling membantu dalam menghadapi musuh beragama
c. Membela mereka yang teraniaya
d. Saling menasihati
e. Menghormati kebebasan beragama.
Piagam Madinah menjunjung tinggi kebebasan dan perlindungan warga. Contohnya, siapa pun yang berbuat zalim — baik muslim atau yahudi — tidak boleh dilindungi oleh siapa pun dan harus dilawan bersama-sama. Kaum muslimin dilarang main hakim sendiri dan terlibat persekongkolan dengan musuh, demi menjaga keadilan. Sebaliknya, kelompok Yahudi dan sekutunya yang tidak melakukan pelanggaran berhak mendapatkan perlindungan, pertolongan, dan jaminan negara. Prinsip yang sangat menonjol adalah kebebasan beragama: “Baik kaum Muslimin maupun kaum Yahudi bersama sekutunya diberi kebebasan untuk menjalankan agama masing-masing” selama tidak melanggar kesepakatan. Dengan demikian, setiap warga (muslim maupun nonmuslim) memiliki hak dan kewajiban setara di mata hukum; misalnya diat (tebusan darah) dan penyelesaian sengketa dihitung adil antar semua suku. Secara keseluruhan, Piagam Madinah mengatur isu politik (kepemimpinan Rasulullah sebagai kepala negara), hukum, pertahanan, HAM, dan kerukunan antaragama, menjadikannya konstitusi majemuk pertama dalam sejarah umat manusia.
Dampak dan Transformasi Sosial Pasca-Piagam
Dengan lahirnya Piagam Madinah, masyarakat Madinah mengalami perubahan struktural luar biasa. Dokumen ini berhasil memecah “konfederasi kesukuan” yang sebelumnya longgar menjadi satu masyarakat baru yang diatur oleh hukum moral dan aturan jelas. Konflik antarsuku yang berlangsung puluhan tahun mulai mereda. Para pemimpin suku secara resmi mengakui kewibawaan Rasulullah Saw. sebagai hakim tertinggi dan tunduk pada kesepakatan bersama. Akibatnya, kerja sama sosial meningkat, kaum Ansar rela membagi harta, memberi jaminan keamanan, dan mengangkat kaum Muhajirin menjadi bagian dari komunitas baru.
Perjanjian damai multikultural ini juga memberi dampak besar pada penyebaran Islam. Disepakatinya Piagam yang menghormati pluralitas, memberi kesempatan kepada umat Islam bergaul lebih luas dalam kondisi aman sehingga dakwah pun semakin kuat dan stabil. Dalam beberapa bulan setelah hijrah, madrasah masyarakat Madinah tumbuh. Hukum Islam mulai diterapkan, menggantikan balas dendam suku lama. Studi kontemporer mencatat bahwa lewat Piagam Madinah, “Islam mengubah watak bangsa Arab yang semula kasar” menjadi umat yang berbudaya hukum dan moral. Secara politik, doktrin persaudaraan universal Piagam Madinah menciptakan model pemerintahan yang tidak membedakan ras atau suku. Secara keseluruhan, gagasan dan aturan Piagam Madinah mengukir keadilan sosial di kota itu, menggantikan masyarakat Madinah pra-Islam yang terpecah belah dengan sebuah komunitas yang harmonis dan berkeadilan.
Relevansi Nilai Piagam Madinah dalam Masyarakat Modern
Nilai-nilai Piagam Madinah ternyata tetap relevan hingga saat ini. Piagam ini sering disebut sebagai “konstitusi tertulis pertama di dunia” yang menempatkan prinsip pluralitas dan keadilan sosial sebagai dasarnya. Ilmuwan Muslim modern menilai bahwa Piagam Madinah meletakkan dasar konsep negara hukum inklusif, bukan berlandaskan etnosentrisme, melainkan solidaritas universal antarwarga. Misalnya, Piagam mengusung prinsip persamaan hak dan kebebasan beragama, dua nilai yang kini menjadi fondasi banyak konstitusi modern. Konsep ummah yang diperkenalkan Nabi ﷺ menyatukan beragam kelompok dalam satu komunitas berkeadilan.
Analisis kontemporer juga menegaskan kesinambungan Piagam Madinah dengan cita-cita demokrasi modern: Piagam menekankan kerja sama antarwarga serta tanggung jawab kolektif menjaga keamanan kota. Piagam tersebut menjadi inspirasi bahwa masyarakat modern dapat membangun toleransi dan inklusivitas. Bahkan, forum internasional, seperti Konferensi Al-Azhar telah mengutip Piagam Madinah sebagai rumusan bahwa pemerintahan Islam tidak mengenal konsep negara teokratis yang memaksakan satu agama, melainkan menghargai kemajemukan.
Dengan kata lain, nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kebebasan dalam Piagam Madinah mengajarkan kita untuk menciptakan masyarakat yang inklusif, toleran, dan berkelanjutan. Semangat tersebut sangat selaras dengan semangat Pancasila dan hak asasi manusia modern. Sebagaimana dikemukakan peneliti kontemporer, Piagam Madinah telah menjadi fondasi bagi kewarganegaraan inklusif yang menekankan kerja sama di antara berbagai kelompok masyarakat. Nilai persaudaraan universal ini mendorong kita terus memperkuat dialog antarbudaya dan saling menghormati di era globalisasi. Dengan demikian, menelaah Piagam Madinah bukan hanya soal mengenang sejarah, tetapi juga meresapi pelajaran luhur bagi kehidupan bersama di masa kini.
Sumber:
Noor, Muhammad hidayat & Yusuf, Muhammad ,Jejak perjuangan Muhammad Saw dari Jahiliyyah Mekah Hingga Civil Society Madinah, Sleman : Kalimedia, 2024
J. Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau dari Pandangan Al-Qur’an (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm.121
Munawir Sjadzali, Kontekstualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 15-16
Penulis: Moh. Shofiyyulloh
Editor: Fahri Reza