Sufi, sebagai orang yang mengamalkan ajaran tasawuf, terus menghantam mati-matian fisik mereka dengan menjalani laku tirakat tertentu yang memprihatinkan. Mereka berpuasa, tidak makan dan minum sekian puluh hari, bulan, bahkan tahunan dalam rangka mensucikan jiwa (tazkiyatun nafs).
Kaum sufi menilai puasa tidak makan dan minum merupakan jalan yang efektif menuju Tuhan. Sebab dengan tidak makan dan minum itu mampu mengantarkan kondisi hati (ahwalul qalb) yang berkonsentrasi kepada frekuensi kesadaran ilahiah di setiap detak jantungnya. Setelah mencapai titik penyucian jiwa itu, kaum sufi mencapai kedekatan dengan Sang Ilahi.
Tapi itu berbalik jauh dengan Syekh Bela-Belu. Dalam cerita rakyat yang beredar, ia melawan arus tirakat yang umum: ia menjaga dirinya dari lalai ( gaflah ) mengingat Allah dengan terus menerus makan tanpa henti. Mungkin ini semacam logika terbalik ( reverse logic ) dari yang kita peroleh selama belajar di pesantren. Adapun nama “Syekh Bela-Belu” ini juga termaktub dalam buku Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa yang ditulis De Graaf dan Pigeaud.
Mengenal Syekh Bela-Belu
Detik-detik akhir Kerajaan Majapahit pada abad ke-15, masyarakat di sana banyak menepi ke berbagai daerah pinggir laut, salah satunya ke pesisir laut selatan. Seperti Raden Dandung (referensi lain menyebutnya Raden Jaka Bandem), salah satu tokoh Majapahit yang hijrah ke Bukit Pemancingan di wilayah Bantul, Yogyakarta.
Raden Dandung, menurut Babad Tanah Jawi, memiliki garis keturunan pada Brawijaya V (1474-1498 M), raja terakhir Majapahit. Raden Dandung ini sebelumnya memang dikenal menguasai ilmu bela diri sekaligus ilmu kebatinan. Setelah kedatangannya di Bukit Pemancingan, hari demi hari masyarakat sekitar mulai sadar kehadiran tokoh dari Majapahit ini. Akhirnya satu per satu masyarakat mulai berguru ilmu bela diri dan ilmu kebatinan padanya.
Karena mulai banyak masyarakat berdatangan, akhirnya Raden Dandung membuat sejenis padepokan sederhana di lereng bukit tersebut. Tetapi sebelum Raden Dandung tiba, ternyata sudah ada seseorang yang menetap terlebih dahulu di sana, ia adalah Ki Ageng Selohening.
Raden Dandung terheran dengan Ki Ageng Selohening. Bagaimana mungkin tokoh yang sesama dari Majapahit itu dapat masuk Islam (muallaf). Padahal mereka berdua keluar dari Majapahit karena semakin menguatnya pengaruh Islam. Adapun rahasia di balik muallaf-nya Ki Ageng Selohening, adalah Syekh Maulana Magribi (seorang da’i utusan Kesultanan Demak, Raden Patah) yang berhasil “mensyahadatkan”.
Seiring berjalannya waktu, Raden Dandung bertemu dengan Syekh Maulana Magribi. Mereka berdua berdialog cukup panjang, berdebat dengan nalar kritis serta ketajaman argumen masing-masing. Singkat cerita Raden Dandung kalah berdebat, dan akhirnya mau bersyahadat masuk Islam. Dari sini Raden Dandung lebih akrab dipanggil Bela-Belu.
Istilah “Bela-Belu” berasal dari bahasa Arab “babul laili”, artinya pintu malam. Sebab kebiasaan Raden Dandung melek begadang untuk beribadah di malam hari sering dilakukannya pasca masuk Islam.
Setelah masuk Islamnya Raden Dandung, seluruh jamaahnya juga turut serta muallaf. Padepokan di Bukit Pemancingan itu pun kian meramai dan penyebarluasan ajaran agama Islam semakin berkembang.
Tirakat Makan Banyak (Mukbang) Syekh Bela-Belu
Di samping melahap cukup banyak ilmu dari Syekh Maulana Magribi, Syekh Bela-Belu ternyata memiliki gemar makan banyak. Tak henti-hentinya ia memakan nasi dengan porsi yang selalu bertambah. Bahkan dinding rumah Syekh Bela-Belu penuh kerak nasi yang telah ia makan, dan perawakan Bela-Belu ini pun digambarkan memiliki badan yang sangat gemuk.
Lambat laun Syekh Maulana Magribi ”jengkel” dengan kebiasaan muridnya yang selalu makan. Perilaku anehnya ini dianggap mulai melenceng dari apa yang gurunya telah ajarkan. Akhirnya Syekh Bela-Belu ditegur oleh Magribi, “apakah dengan makan terus-menerus seperti ini kewajiban agama, mengurus padepokan, dan aktivitas berdakwahmu tetap terlaksana dengan baik?” Syekh Bela-Belu menjawab, “ya, tentu saja kewajiban agama, mengurus padepokan, dan berdakwah tetap terlaksana dengan baik. Aku tetap melakukannya dengan tekun.”
Setelah Syekh Maulana Magribi meninggalkan muridnya, tetap saja Bela-Belu makan banyak tanpa memikirkan bagaimana kesehatan tubuh serta laku tirakat yang umumnya dipahami orang awam dengan berpuasa tidak makan-minum. Di puncak kemurkaannya, Syekh Maulana Magribi menantang Bela-Belu untuk mengadu siapa yang memiliki derajat ilmu tertinggi dengan berangkat pergi ke Makkah berjalan kaki. Siapa yang duluan akan sampai, apakah Bela-Belu atau dirinya.
Berangkat Menuju Makkah
Begitu pagi hari tiba, Syekh Maulana Magribi mulai berangkat dari Bukit Pemancingan Yogyakarta menuju Makkah dengan berjalan kaki. Namun berbeda dengan Bela-Belu, ia masih santai duduk di padepokan sambil makan nasi tanpa henti. Begitu Syekh Maulana Magribi duluan berangkat, Bela-Belu sekadar melambaikan tangan padanya.
Syekh Maulana Magribi berjalan kaki melalui panjangnya perjalanan dari Nusantara ke Makkah. Tidak sedikit ia melafazkan wirid-wirid, zikir-zikir sepanjang perjalanan agar Allah memperkenankan dirinya sampai ke Makkah duluan dari muridnya.
Setibanya di Makkah, ketika Syekh Maulana Magribi ingin melaksanakan shalat, tiba-tiba ia melihat ada sosok orang yang tak asing baginya di bagian shaf depan. Dan ternyata benar saja, yang berada di shaf depan adalah muridnya sendiri, tak lain dan tak bukan Syekh Bela-Belu. Syekh Bela-Belu melambaikan tangan agar gurunya mau duduk bersama di sampingnya, di shaf terdepan.
Sembari duduk di samping muridnya, Syekh Maulana Magribi bergumam dalam hati “Bagaimana ia dapat sampai duluan? Bukankah ketika aku berangkat lebih dahulu ia masih bersantai-santai di padepokan sambil makan?”
Petikan Hikmah
Terlepas dari kisah di atas termasuk cerita rakyat, tetapi nilai-nilai perjuangan dan pandangan tasawufnya masih dapat kita ambil sebagai resep menjalani kehidupan sehari-hari. Jelas Syekh Bela-Belu memilih tirakat makan banyak bukan semata-mata untuk memenuhi keinginannya saja, justru sebagai cara ia menangkal rasa kantuknya. Dengan terus melek , maka ia dapat terus menjalankan zikir, wirid, dan amalan-amalan lainnya.
Tampak sekali Syekh Bela-Belu berbeda metode dengan gurunya, Syekh Maulana Magribi. Namun tidak hanya ketika berbeda cara maka salah, dari kisah di atas justru Syekh Bela-Belu dapat melampaui derajat ilmu makrifat lebih tinggi dibandingkan gurunya.
Kisah ini menunjukkan satu sinyal kepada kita bahwa ada begitu banyak jalan menuju Allah, tergantung bagaimana kita dapat menganalisis diri kita sendiri. Apakah kita sepeda, mobil, atau motor. Jika kita motor, maka harus mengerti apakah kita motor matic, gigi, atau motor kopling. Ketepatan memakai oli dan bensin penting sekali agar motor itu tidak rusak.
Demikian dengan Syekh Bela-Belu dan Syekh Maulana Magribi. Mereka berdua memiliki dua perangkat mesin yang berbeda, karena itu butuh metode pendekatan diri kepada Allah yang berbeda pula. Jika kamu tidak mampu berpuasa menahan makan-minum, maka berpuasalah menahan dari tidur, misalnya. Karena apapun yang kita lakukan, hakikatnya merupakan jalan, metode, atau thoriqoh juga dalam menuju Allah.
___
Afda Muhammad, Santri Komplek L
2022
2 Comments
ibu ida
masya Allah. banyak hikmah yg bs d ambil. fokus pd diri sendiri dlm meraih ridho Ilahi. tak perlu resah dg cara org lain meraihnya. yg penting tetap pd aturan sesuai Al Qur’an & sunnah Nabi. insya Allah.
komplek-el
Amin, semoga kita senantiasa dimudahkan Allah.