Suatu hari, setundun dompol nangka bergelantungan di pangkal pohon. Buah berwarna kuning, yang cara makannya perlu dipisahkan dulu dari getah dan selaput pembungkusnya terlihat segar dan menunggu dibelah. Nangka matang sendiri memang enak disantap langsung, dan yang muda dibuat sayur gori (sayur nangka muda).
Pohon nangka itu tumbuh menjulang di depan gedung pondok, dengan daunnya yang rimbun ditiup angin. Sayang, tak seorang pun berani mengambil. Takut ketahuan Bapak kelihatannya. Padahal, Bapak sendiri kalau ada santri yang mengambil nangka atau mangga pondok, mungkin, pura-pura tidak tahu. Itulah ciri khas Bapak. Ada santri dulu yang memasak hewan milik Bapak, dibiarkan pula. Maqam Bapak sungguh bukan maqam manusia biasa.
Beberapa potong nangka sudah diambil untuk dibagikan ke warga sekitar pondok. Namun, tahun itu benar sedang musim-musimnya. Buah nangka panen serentak dan berlebih banyak sekali. Sisa nangka bingung dibuat apa lagi.
Satu orang santri, entah siapa namanya punya inisiatif mengambil sisa-sia buah itu. Kasihan, nanti busuk pikirnya. Ia lantas mengambil sebuah karung dan memanen dengan hati-hati beberapa potong nangka yang ranum. Santri tadi berniat menjualnya, terus uangnya diberikan ke pondok. Bagus betul niatnya.
Ia bersemangat sambil menyeret karung dan melewati ndalem Bapak. Tak dinyana, Bapak tiba-tiba muncul dan bertanya. “Kanggo opo kui?”
Karena kaget, ia seloroh menjawab lirih, “Ajeng disade, Pak.”. Dalam hati dirinya amat yakin kalau Bapak setuju dengan ide baiknya.
“Ora oleh.” Jawab Bapak dengan tegas.
“Njeh,” tukasnya singkat. Ia merasa kikuk dan kemudian mundur perlahan sambil membawa karung berisikan nangka yang tidak jadi dijual.
K.H. Munawwar Ahmad kemudian menjelaskan mengapa Bapak melarang santri menjual nangka yang ada di pondok. Nangka-nangka (atau apa pun) itu, karena tumbuh di pondok, dan tanah pondok adalah tanah wakaf, konsekuensinya tidak boleh di-tasarruf-kan: baik diperjualbelikan, disewakan, dan seterusnya. Ia sekadar boleh dimanfaatkan secara langsung, entah diolah untuk dimasak, dimakan, atau dibagikan cuma-cuma. Yang penting tujuannya adalah kebaikan. Sedangkan, dengan menjual nangka, berarti tujuannya bukan lagi ukhrawi, tetapi keuntungan dunia.
Contoh lain misalnya, ketika ada renovasi masjid, bangunan lama yang termasuk ke dalam tanah masjid tidak boleh dijual kembali, dimiliki secara pribadi, ataupun digunakan untuk kepentingan-kepentingan lain. Sisa-sisa bangunan lama, baik batu bata, kayu, keramik atau apapun yang ada di dalam masjid dikubur kembali di bawah bangunan baru, atau dijadikan bahan tambahan. Hal itu dikarenakan tanah masjid adalah tanah wakaf.
Wakaf begitu krusial bagi Bapak sehingga beliau memilih jalan ihtiyat ketika berurusan dengannya. Semoga kita senantiasa dapat meniru keteladanan Mbah Mad dalam mengamalkan syariat Islam. Seperti bapak yang mencontohkannya secara langsung. Lisanul hal afshah min lisanil maqal.
Oleh: Fahri Reza Muhammad