Dalam sebuah pembicaraan, seorang teman tiba-tiba memantik pertanyaan menarik: bagaimana cara kita menyikapi takdir?
Sekilas, teman saya, dengan pertanyaan itu, tampaknya memiliki kecemasan tersendiri, di mana di satu sisi ia tentu mengetahui bahwa semua takdir telah digariskan Allah, tetapi di sisi lain ia tidak mengetahui bagaimana takdirnya akan berjalan. Dengan kata lain, ia hendak mempertanyakan apakah manusia tinggal menjalani lakon seperti wayang tanpa bisa menentukan bagaimana drama nantinya berjalan?
Dalam sejarah, jika membicarakan nasib atau takdir manusia yang dikaitkan dengan kekuasaan Tuhan, ada dua aliran dalam teologi Islam yang besar, yaitu Qadariyah dan Jabariyah. Secara umum, yang membedakan keduanya adalah seberapa besar porsi mereka dalam menempatkan persoalan jabr (keterpaksaan) dan ikhtiar (kebebasan) manusia ketika berbuat. Akibat dari aqidah Jabariyah bukan saja seseorang yang merasa dirinya lemah dihadapan Tuhan, tetapi lemah juga dihadapan orang lain. Sementara paham Qadaiyah bila diterapkan secara ekstrim akan menimbulkan pula kesulitan-kesulitan, terjerumus dalam kesombongan, pemujaan berlebihan pada akal, dan merasa serba mampu dalam kehidupannya.
Tetapi di sini tidak akan panjang-lebar membicarakan dua aliran itu. Yang jelas, bagi umat islam, takdir merupakan bagian dari pada iman terhadap Qadha dan Qadar. Pemahaman tentang takdir ini begitu penting karena sedikit-banyak akan menentukan sikap seorang muslim terhadap berbagai hal yang terjadi selama hidupnya.
Untuk menyikapi takdir, kiranya kita perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang takdir itu sendiri. Baik itu definisinya, tingkatan-tingkatannya, ataupun macam-macam berikut penjelasannya. Karena hal itu secara tidak langsung dapat mengarahkan sikap secara lebih tepat. Misalnya pengetahuan tentang takdir kelahiran.
Jika seseorang memahami bahwa “kapan dan dari siapa kita dilahirkan” itu termasuk takdir mubrom, ia tidak akan mempertanyakan ras, sukunya, gerak-gerik refleks organ tubuhnya, warna kulitnya, ukuran tubuhnya. Kejadian-kejadian tersebut menempati sisi musayyar manusia, bukan sisi mukhoyyar yang masih bisa diusahakan. Konsekuensinya, dengan pemahaman tersebut, ia bisa mensyukuri apa yang dikaruniakan kepadanya. Tidak sampai meratapi atau menyesali “mengapa saya terlahir dengan ras ini”, yang itu tentu saja sia-sia.
Demikianlah pengetahuan kira-kira bekerja.
Selain itu, agar dapat aktif dalam menyikapi takdir, seseorang juga perlu menetapkan perspektif dalam menghadapi persoalan kehidupan. Dan sebagai manusia, tentu saja ia menggunakan perspektif manusia, bukan perspektif Allah. Dalam perspektif manusia, semua kemungkinan hidup masih bisa terjadi, ia selalu optimis menghadapi sesuatu. Sementara dalam perspektif Allah, tentu saja semua hal telah dituliskan takdirnya.
Misalnya, seorang buruh miskin yang ingin kaya agar bisa berhaji. Jika menggunakan perspektif manusia, tentu ia semangat untuk bekerja karena haji bukanlah sesuatu yang impossible. Tetapi jika menggunakan perspektif Allah, ia bisa jadi hanya menggantungkan nasibnya pada takdir, “Malas-malasan sajalah, kalau memang ditakdirkan haji ya saya haji”.
Hal itu bukanlah persoalan percaya pada takdir atau tidak, tapi hanya bagaimana agar sikap manusia terhadap takdir dapat membantunya dalam aturan. Dalam bahasa akademisi, bagaimana konsep menjadi konsep pengembangan sumber daya manusia. Hematnya, takdir bukan ditunggu, namun digali dan diperjuangkan. Karena takdir juga harus disertai dengan potensi demi tercapainya harapan yang diinginkan.
Oleh : Ahmad Zamzama NH.