Saat memasuki bulan puasa, kita sering menjumpai kata ramadhan, ta’jil, dan shaum terselip di berbagai media: di percakapan sebuah grup WA, di judul acara, tema kegiatan, ucapan doa, dan teks-teks lainnya. Tanpa kita sadari, sudah betulkah penulisan ketiga kata tersebut menurut aturan Ejaan Bahasa Indonesia. Lalu, bagaimana penulisannya yang tepat?
Penulisan yang tepat ketiga kata tersebut adalah ramadan, takjil, dan saum. Akan tetapi, sebelum itu, kita boleh bertanya dong mengapa jadinya yang baku tersebut. Awalnya huruf h pada suku kata dhan dan kata sha, atau tanda apostrof (’) pada kata ta’jil dilatarbelakangi penulisan kata serapan pada era sebelum tahun 2000-an. Kata serapan yang berasal dari bahasa Arab umumnya mengalami penyesuaian bunyi dengan bunyi asli huruf bahasa Arab sehingga dalam praktiknya huruf abjad bahasa Indonesia dipaksa menerima bunyi baru, atau menambahkan bunyi baru dari bahasa lain.
Hal ini dapat kita amati pada huruf ḍad, ṣad, dan ’ain (di suku atau akhir kata). Huruf-huruf tersebut ternyata tidak memiliki padanan huruf simetris dalam bahasa Indonesia. Oleh sebab itu, ahli bahasa menawarkan abjad d dan s dan k sebagai gantinya. Pemilihan abjad ini sebetulnya belum sepenuhnya memadai seperti alasan sebelumnya. Akan tetapi, karena kebutuhan pembakuan bahasa Indonesia hal ini akhirnya terpaksa harus dilakukan. Pembaruan terbaru dapat diamati di buku Ejaan Yang Disempurnakan Edisi V (2023), dalam subbab ”Penulisan Unsur Serapan”.
Sebelum itu, bahasa Indonesia pernah menggunakan pemakaian tanda apostrof (’) sebagai pengganti huruf ’ain (Arab) yang berada pada suku atau akhir kata, misalnya pada kata ta’rif, ruju’, dan imla’. Penggunaan tanda apostrof ini pernah dibakukan pada Ejaan Van Ophuijsen (1901), sebagai cara mengindonesiakan bahasa Arab. Baru mulai pada Ejaan Soewandi (1947) tanda apostrof diganti menjadi huruf k, misalnya ra’yat menjadi rakyat, tama’ menjadi tamak. (Herniti, 2019)
Meskipun demikian, ada yang perlu dikecualikan, yaitu, ketika kata bertanda apostrof tersebut sudah berbadan hukum. Artinya dia tidak bisa dirubah lagi karena dari awal dilegalkan sudah menurut hukum dan dipatenkan demikian adanya. Kita sebut saja Nahdlatul Ulama, meskipun dari segi penulisan ia keliru, tetapi tidak bisa dirubah. Organisasi NU punya legalitas hukum yang mematenkan nama Nahdlatul Ulama.
Penulisan yang masih simpang siur, dan mengalami berbagai perbedaan penggunaan biasanya memang tergantung dari siapa yang menggunakan. Misalnya, perbedaan penulisan huruf ḍad (Arab). Ketika akan diindonesiakan, ada yang mengganti ḍad itu menjadi dh, seperti pada kasus ramadhan, afdhol, fadhilah, dst. Ada pula yang menggantinya jadi dl, misalnya nahdlah, raudlah, ridlo, dst.
Kasus ḍad ini serupa dengan ṣad (Arab) yang tidak diganti menjadi s, tetapi ditulis sh. Agaknya, penggunaan sh ini merupakan pemadanan fonetis, artinya orang mendengar bunyi ṣad memiliki desis sehingga dipakailah huruf sh, sha atau sho. Kita mungkin sering latah menulis salat menjadi shalat, musala menjadi mushola, sahib menjadi shahib. Selain dua huruf itu yang cenderung populer mengalami kekeliruan, ada lagi huruf Arab yang perlu kita amati, umpamanya śa, gain, zai, żal, dan ẓa, ketika diindonesiakan. Perlu diketahui huruf śa diganti menjadi s, bukan ts; gain jadi g, bukan gh; dan zai, żal, dan ẓa diganti z, bukan dz atau dl.
Pada dasarnya, kata ramadhan, ta’jil, dan shaum merupakan kata serapan dari bahasa Arab yang telah melalui proses panjang pembakuan bahasa oleh para ahli bahasa . Mengubah sebuah kebiasaan yang dipakai di masyarakat dan sudah dianggap seolah benar memerlukan kerja keras. Akan tetapi, dengan kepedulian dan promosi penggunaan bahasa Indonesia secara terus-menerus, masyarakat lambat laun akan teredukasi dan menyadari secara perlahan pentingnya penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Sumber tulisan:
HERNITI, E. (2019). “SEJARAH EJAAN BAHASA INDONESIA (DARI MASA PEMERINTAHAN BELANDA HINGGA MASA PEMERINTAHAN JOKO WIDODO)” dalam Islam dalam Goresan Pena Budaya.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. (2022). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima (KBBI V) Daring.
Penulis: Fahri Reza Muhammad
Editor: Rifqi Zulfikar