Jauh sebelum tulisan ini diketik, dahulu sekali, salah satu ulama kelahiran Persia, Abu Nuaim al-Asbahani (430 H/1038 M), diguyur keresahan mendalam saat melihat sekelompok orang yang mengaku sufi tetapi di balik itu hanya sekelompok orang fasik, keji, menghalalkan semaunya. Hal ini berakibat fatal terhadap orang-orang awam. Banyak dari mereka yang tertipu dengan kelicikan penampilan para sufi palsu. Keresahan Abu Nuaim ini dapat terlihat dari kitabnya yang ia susun bertumpuk-tumpuk dengan judul Hilyat al-Auliya fi Tabaqat al-Asfiya.
Bila dari sisi pemikir lainnya, kita lihat Immanuel Kant (1218 H/1804 M), filsuf asal Jerman, ikut mengalami keresahan dalam dimensi keilmuan antara penganut paham empirisme dan rasionalisme. Beliau mengkritik habis-habisan orang jumud yang beranggapan bahwa rasionalisme dan empirisme terpisah, tidak memiliki kaitan. Menurut Kant, rasionalisme dan empirisme adalah dua unit terpisah tetapi berkorelasi. Sinkretisme ini yang merajut mazhab baru dalam dunia metodologi sebagai mazhab kritisisme. Keresahan Kant tergambar dari buku-bukunya, seperti Critique of Pure Reason, Foundation for the Metaphysics of Ethics, Critique of Judgement, dan masih banyak lainnya.
Penggalan dua tokoh di atas memberi makna secara intrinsik bahwa tokoh-tokoh terdahulu menembak peluru skeptis di setiap scene yang mereka temukan di kehidupannya. Tidak mungkin jika Abu Nuaim tidak mengalami keresahan yang mendalam. Kitab e wae kui tekan 12 jilid. Itu artinya bagi seorang penuntut ilmu—arep wong Islam opo ora—berpikir kritis sudah mutlak harus dilakukan guna menangkal kerancuan serta menggapai kebenaran.
“Santri”, sebuah diksi yang dilekatkan asumsi sebagai pemilik akhlak mulia (akhlaqul karimah) dan wawasan keagamaan yang mumpuni, terkadang mengalami dilematikanya. Sebagai orang yang mendalami dimensi keilmuan, santri dituntut untuk berpikir kritis-koherentif. Di sisi lain santri harus takzim dengan guru yang mengajarnya, kendati sang guru melakukan hal yang terlihat sedikit ngawur (khariqul adah).
Belum lagi dengan ombak modernitas yang mengguyur secara masif. Paradigma modern yang tidak diolesi pengetahuan agama dan perawatan spiritual akan membuat masyarakat lepas dari kesadaran akan ketuhanan (awareness of God) dalam aktivitas kesehariannya.
Dilematika antara berpikir kritis, ombak paradigma modern, dan taat kepada guru (reject negative assumptions) menjadi tantangan bagi santri era milenial. Dalam hal ini pun Hadratus Syaikh Hasyim Asyari (1366 H/1947 M) juga menerangkan dalam kitabnya Adab al-Alim wa al-Mutaalim, pada bab adab murid terhadap guru, bahwa murid harus memandang dengan pandangan mata yang mengagungkan gurunya (wanzur bi ainil ijlal).
Dilematika Modernitas
Bagi sosiolog asal Inggris, Anthony Giddens, modernitas dapat ditinjau dari nuansa epistemologis dan nuansa kultural. Tetapi dalam hal ini kita tetap harus melihat principium dari modernitas. Dalam koridor aspal sejarah, “modernitas” merujuk pada konstelasi kehidupan sosial Eropa sekitar abad ke-17. Kemajuan dalam hal-hal yang bersifat materialistik, kemajuan teknologi yang meningkatkan instanitaskehidupan sehari-hari, peralatan-peralatan yang serba canggih, melaju sangat pesat.
Kemajuan teknologi ini merupakan bukti hebatnya nalar manusia yang diciptakan Allah dalam merangkai gagasannya yang bersifat kreatif-inovatif. Manusia ini yang memaksimalkan daya pikirnya sehingga tercipta kecanggihan teknologi di sektor pertanian, transportasi, pembelajaran, dan segala kecanggihan duniawi lainnya.
Tetapi kemajuan yang kita banggakan serta kita pamerkan itu bukan berarti tanpa konsekuensi. Ambruknya etika dan moralitas masyarakat secara signifikan menjadi suatu hal yang patut kita khawatirkan. Harus diakui bahwa nalar manusia memiliki batas. Penggunaan nalar yang melampaui batas dapat mengakibatkan pengkhianatan terhadap tujuan harkat-martabat kita sebagai manusia. Sangat mudah sekali kecanggihan teknologi disalahgunakan dalam merajut praktik berorientasi pada kejahatan.
Lebih parahnya lagi, penggunaan nalar yang melampaui batasnya dapat membuat manusia sendiri hilang keseimbangan (unstable condition). Pada kondisi kehilangan keseimbangan, manusia cenderung hanya memilih menginjak lapangan material saja, melepaskan seluruh dimensi yang tidak tersentuh oleh indra (spiritual dimension). Mereka memilih untuk menghindari sepi, mondar-mandir mencari kesenangan duniawi semata. Akhirnya hilang seluruh sensasi ketuhanan dalam dirinya.
Mesin Spiritual
Syaikh Zakariya al-Anshari (926 H/1520 M) dalam Hamish al-Risalah al-Qusyairiyah memaparkan bahwa tasawuf itu ilmu yang dapat mengetahui ahwal (conditions) penyucian jiwa, pemurnian akhlak, penarbiahan lahir-batin dalam upaya mencapai kebahagiaan abadi. Dalam mengupayakan hal-hal di atas perlu sebuah metode untuk menjalaninya. Istilah metode atau cara di dunia tasawuf biasa disebut dengan istilah “thariqah” atau tarekat.
Faisal Ismail (1443 H/2022 M) meneropong terminologi thariqah sebagai wadah yang terorganisasi untuk mengamalkan ajaran tasawuf, sebagaimana penjelasan beliau dalam buku Studi Islam Kontemporer. Kalai bahasa simpelnya, tasawuf adalah metode menuju Tuhan. Utawi tasawuf, kui wadah e sing nampung teori-teori perihal cara menuju Tuhan. Di samping itu ada dua elemen terpenting dalam ajaran tasawuf, yakni mursyid (guide) dan murid.
Reinterpretasi Praktik Zuhud
Sepertinya kesalahan banyak orang ialah memisahkan antara spiritual dengan modernitas. Hal demikian terjadi sebab pemaknaan umat Muslim terhadap praktik zuhud (asceticism). Masih banyak dari masyarakat belum bisa move on dari interpretasi praktik zuhud, yaitu dengan berpakaian lecek, kumal, tinggal di gubuk, dan hidup menyendiri.
Yo ndak salah juga sebetulnya. Karena para ulama pun masih silang pendapat mengenai berzuhud. Tetapi bila kita kembali pada definisi Syekh Zakaria di atas, “penyucian jiwa, pemurnian akhlak, tarbiah lahir-batin”, maka kita dapat ambil esensi dari tasawuf itu; 1) jiwa yang suci, 2) akhlak murni, dan 3) mendidik lahir-batin. Dari tiga butir itu, tentu esensi spiritual dapat dicapai tidak hanya dengan baju kumal, tinggal di gubuk, dan hidup menyendiri saja. Melainkan dapat diraih dengan cara lain sesuai kemampuan dan kesesuaian murid dalam melakoni thariqah.
Tinjauan itu senafas dengan Muhammad Iqbal (1357 H/1938 M) yang memiliki pendapat bahwa thariqah haruslah didialogkan secara kreatif-inovatif, seimbang (equity), serta disesuaikan dengan denyut perkembangan zaman. Tidak saja kaku bertumpu pada model praktik asketisme masa lalu. Pembaharuan secara atraktif, menurut Iqbal, perlu dilakukan dalam upaya menjaga stabilitas masyarakat era modern.
Kendati santri dihadapkan kondisi berpikir kritis, paradigma modern, dan senantiasa husnuzan taat pada guru, masih dapat ditangani dengan perawatan spiritual. Praktik zuhud atau bertasawuf inilah yang tidak melulu dipertentangkan dengan modernitas. Sebab sejatinya spiritualitas dapat tumbuh mekar dalam koridor modernitas.
Tentu gempuran modernitas di kalangan masyarakat, khususnya santri, harus diantisipasi dengan menyiapkan perangkat spiritual yang bersifat dinamis, menyesuaikan laju perkembangan zaman. Kelawan toto coro koyok iki insyaallah iso dadi langkah preventif demi menepis dampak negatif arus modernitas berupa degradasi etika dan moral.
Penulis: Afda Muhammad,
(Santri Al-Munawwir Komplek L Krapyak)