Bulan Ramadhan menjadi bulan yang paling ditunggu-tunggu oleh umat muslim di seluruh dunia. Pasalnya bulan Ramadhan memiliki banyak keutamaan yang dapat kita lihat keterangannya baik dalam nash al-Quran, hadis, maupun beberapa maqalah sahabat dan tabiin. Hal-hal yang berkaitan dengan Ramadhan pun menjadi menarik dibicarakan, termasuk penentuan awal bulan Ramadhan.
Penentuan awal bulan Ramadhan menjadi perbincangan di setiap tahunnya sejak lama. Terlebih ketika terjadi perbedaan antara satu aliran dengan aliran lain. Bahkan dalam satu aliran namun berbeda guru pun juga terkadang timbul perbedaan. Hal demikian bisa terjadi karena setiap ulama memiliki metode ijtihadnya masing-masing. Perbedaan tersebut juga terjadi karena adanya perbedaan penafsiran al-Quran dan Hadis, ditambah dengan pendapat-pendapat yang diutarakan oleh ulama-ulama yang memiliki kapasitas dalam menafsirkan.
Namun di luar perbedaan itu, penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan memang penting adanya. Karena itu berkaitan dengan pelaksanaan salah satu kewajiban umat Islam, yaitu puasa Ramadhan.
Kewajiban puasa di bulan Ramadhan tercantum dalam al-Quran:
… فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَاليَصُمْهُ…
“Maka barang siapa di antara kalian menyaksikan bulan maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya” (QS. 2: 185)
Tafsir al-Jalalain menyebutkan bahwa makna dari شهد adalah حضر yang artinya menemui bulan Ramadhan. Kemudian diperintahkan agar umat muslim berpuasa ketika menemui bulan tersebut. Juga disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar:
ترائ الناس الهلال فأخبرت النبي ﷺ : إني رأيته فصام و أمر الناس بصيامه (رواه ابو داوود و صححه ابن حبان و الحاكم)
“Orang-orang melihat hilal kemudian saya memberi tahu Nabi saw. bahwa saya telah melihatnya, kemudian Nabi berpuasa dan memerintahkan orang untuk berpuasa” (HR. Abu Daud dan Ibnu Hibban dan Imam al-Hakim telah mensahihkannya) [KH. Ali Maksum, Hujjah al-Ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah, hlm. 48]
Imam empat mazhab sepakat bahwa bulan Ramadhan hanya dapat ditentukan dengan salah satu dari dua metode: melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban. Pada mulanya mereka menetapkan penentuan awal bulan Ramadhan dengan melihat hilal, baik secara langsung ataupun menggunakan alat bantu seperti teropong. Hal itu dilakuka pada sore hari tanggal 29 Sya’ban. Namun apabila terhalang oleh mendung, kabut, atau sebagainya, maka bulan Sya’ban disempurnakan menjadi 30 hari. Sebagaimana dalam sabda Nabi Muhammad saw.
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته فان غمّ عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين (رواه البخاري عن أبي هريرة)
“Berpuasalah kalian semua karena melihat hilal, dan berbukalah karena melihatnya, apabila (ada) mendung di antara kalian maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari” (HR. Al-Bukhori dari Abu Hurairah) [KH. Ali Maksum, Hujjah al-Ahlu as-Sunnah, hlm. 44]
Atas dasar ini, perkiraan ahli hisab dengan perhitungan matematikanya tidak dapat digunakan dasar penentuan awal bulan Ramadhan. Sehingga jika secara perhitungan seharusnya hilal sudah muncul, namun penglihatan manusia tidak dapat melihatnya karena terhalang mendung dan sebagainya, maka tetap belum masuk awal bulan Ramadhan. Hal ini berdasarkan beberapa riwayat hadis yang menyebutkan bahwa awal bulan Ramadhan hanya bisa ditentukan melalui rukyat al-hilal dan penyempurnaan bulan Sya’ban.
Penglihatan hilal-pun hanya diperlukan satu saksi, sebagaimana disebutkan dalam kitab Fath al-Qarib:
(وضرب) آخر من حقوق الله تعالى (يقبل فيه) رجل (واحد وهو هلال) شهر (رمضان) فقط دون غيره من الشهور.
“Dan salah satu macam hak-haknya Allah swt. adalah diterimanya kesaksian seorang laki-laki pada hilal bulan Ramadhan saja, dan bukan dalam bulan-bulan lainnya” [Muhammad bin Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib, Daar al-Kutub al-Islamiyyah, hlm. 197]
Kitab Hujjah ahlu as-Sunnah wa al-Jamaah menyebutkan bahwa secara syariat tidak diperbolehkan beramal berdasarkan perhitungan hisab. Karena itu, para imam mazhab sepakat beberapa amal dalam agama seperti puasa dan haji tidak didasarkan pada perhitungan hisab. Dalam kitab Hasyiyah as-Shawi disebutkan:
لأن الشارع أناط الصوم والفطر والحج برؤية الهلال لا بوجوده
“Karena sang pemberi syariat memberi hak puasa, berbuka, dan haji dengan melihat hilal, bukan dengan wujudnya (hilal)” [Ahmad bin Muhammad as-Shawi, Hasyiyah as-Shawi, Maktabah Musthofa al-Haliby, juz 1 hlm. 241]
Jadi, penentuan awal bulan Ramadhan bagi khalayak umum adalah menggunakan penglihatan hilal, atau dengan penyempurnaan bulan Sya’ban apabila hilal tertutup mendung. Namun, Imam as-Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah memperbolehkan penggunaan pernyataan ahli hisab untuk penentuan awal bulan Ramadhan bagi ahli tersebut dan orang-orang yang membenarkannya, bukan untuk khalayak umum. Hal demikian seperti yang biasa kita temukan beberapa perbedaan di Indonesia mengenai penentuan awal bulan Ramadhan bagi beberapa kalangan dan pengikutnya.
Penulis : Khoiru Ulil Abshor
Editor : Ahmad Zamzama NH.
4 Comments
Fulan
Alhamdulillah terima kasih informasinya
komplek-el
Sama-sama😊