Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Fiqih Ramadan (5): Hukum Zakat Fitrah yang Kita Berikan pada Panitia Zakat

foto: freepik

Zakat fitrah merupakan ibadah yang tidak dapat dipisahkan dengan bulan Ramadhan, sebab zakat fitrah menjadi syarat kesempurnaan terhadap nilai pahala puasa yang telah dijalani selama sebulan penuh pada bulan tersebut. Zakat fitrah juga menjadi manifestasi solidaritas masyarakat muslim yang telah difardhukan oleh Allah swt. bagi orang-orang yang memiliki kelebihan bahan makanan pokok untuknya dan keluarganya di malam dan siangnya hari raya Idul Fitri, walaupun sebelumnya ia termasuk orang miskin. [Muhammad bin Qasim, Fath al-Qarib, Dar Ibn Hazm, halaman 131]

Berbagai praktik zakat fitrah dapat kita temui di negara mayoritas Islam seperti Indonesia. Entah itu merupakan budaya yang diwariskan secara turun-temurun dari orang terdahulu ataupun buatan orang masa kini yang ingin ikut berpartisipasi terhadap terselenggaranya praktik zakat fitrah. Hal demikianlah yang memunculkan panitia-panitia zakat fitrah guna memudahkan masyarakat dalam proses penyaluran zakat dari Muzakki (orang yang memberi zakat) kepada Mustahiq (orang yang berhak menerima) zakat.

Kemunculan panitia zakat menjadi polemik tersendiri di tengah kehidupan awam masyarakat muslim. Polemik yang dimaksud adalah kurangnya pengetahuan masyarakat terkait konsekuensi jika panitianya tergolong amil zakat atau jika bukan amil. Pengetahuan tersebut menjadi penting karena persoalan panitia zakat ini dapat menjadikan sah atau tidaknya zakat fitrah seorang Muzakki.

Pengertian amil dapat kita lihat dalam kitab Fath al-Muin sebagai berikut,

والعامل كساع: وهو من يبعثه الإمام لأخذ الزكاة وقاسم وحاشر لا قاض

Amil seperti Sa’i (orang yang mengurus zakat) adalah seseorang yang diutus oleh Imam untuk mengambil, membagi, dan mengumpulkan zakat dan bukan seorang Qadhi [Zainuddin al-Malibary, Fath al-Muin, Dar Ibn Hazm, halaman 249]

Dapat diketahui dari kutipan tersebut bahwa amil adalah seseorang yang diutus oleh imam untuk mengelola zakat. Sehingga siapapun yang tidak diutus tidak dapat disebut Amil. Dari sini dapat diketahui pula bahwa tidak semua panitia zakat di Indonesia merupakan Amil.

Pemerintah Indonesia melakukan pengelolaan zakat melalui salah satu badan yang dibentuk melalui SK Presiden RI No. 8 tahun 2001, yaitu BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional). Oleh karena BAZNAS ditunjuk langsung oleh Imam, dalam hal ini Presiden, maka BAZNAS tergolong Amil Zakat yang sesuai dengan ketentuan syariat. Serta dalam Perbaznas No. 2 tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpulan Zakat (UPZ) disebutkan bahwa BAZNAS membentuk unit-unit pengumpulan zakat yang terbagi kepada beberapa instansi serta masjid-masjid yang merupakan kepanjangan tangan dari Baznas. Oleh karena itu, panitia zakat yang berada di instansi pendidikan, pemerintahan, ormas, masjid, ataupun surau selama mendapatkan mandat dari BAZNAS maka masih tergolong amil yang memiliki kewenangan untuk mengumpulkan, membagikan, dan mendapatkan bagian dari zakat fitrah.

Praktik yang ada di Indonesia di antaranya adalah pencampuran beras hasil pengumpulan zakat dari para Muzakki. Pencampuran zakat fitrah dilakukan sebagai upaya agar beras yang diberikan kepada Mustahiq nantinya menjadi sama rata antara beras kualitas bagus dengan kualitas kurang bagus dan hukum pencampuran ini diperbolehkan.

‌فلو ‌جمع جماعة فطرتهم وخلطوا وفرقوها، أو فرقها أحدهم بإذن الباقين جاز

Apabila (suatu) jamaah mengumpulkan (zakat) fitrah mereka kemudian mencampur dan memisahkannya atau salah satu dari mereka memisahkannya dengan izin dari yang lain, itu diperbolehkan. [Ibn Naqib as-Syafii, Umdah as-Salik wa ‘Uddah an-Nasik, As-Syuun ad-Diniyyah, halaman 112]

Pencampuran ini menimbulkan adanya kemungkinan kembalinya sebagian zakat yang dikeluarkan kepada Muzakki sendiri apabila dia termasuk salah satu Ashnaf Mustahiq zakat. Kembalinya sebagian zakat yang dikeluarkan, oleh Imam Syafii dalam kitabnya al-Umm, tidak diperbolehkan sehingga hal tersebut mempengaruhi keabsahan ibadah zakat fitrah.

Hukum sah atau tidaknya zakat dalam praktik demikian bergantung pada status panitia zakat. Apabila termasuk amil maka zakatnya sah, apabila bukan maka tidak sah. Penjabarannya dapat kita lihat dalam kitab Ianah at-Tholibin dan Majmu’ Syarh al-Muhadzab bahwa pemberian zakat dari Muzakki kepada Imam/Amil/Sa’i adalah seperti pemberian kepada Ashnaf delapan karena mereka merupakan pengganti Mustahiq (Naaibul Mustahiq). Sedangkan jika pemberian zakat dari Muzakki kepada panitia yang bukan Amil, maka keadaan tersebut merupakan akad wakil di mana proses pengeluaran zakat belum selesai selama belum sampai kepada salah satu dari Ashnaf yang delapan.

Dapat disimpulkan bahwa pengeluaran zakat kepada panitia zakat yang bukan Amil, apabila memungkinkan kembalinya sebagian benda zakat kepada Muzakki, dapat membuat zakatnya kemungkinan tidak sah. Hal tersebut dikarenakan kembalinya zakat yang telah dikeluarkan tidak diperbolehkan sebagaimana diutarakan oleh Imam as-Syafii. Untuk menghindari hal tersebut, panitia yang bukan Amil zakat harus memiliki inisiatif agar zakat tidak kembali ke Muzakki seperti dengan menyalurkan silang RT dan sebagainya.

Berikut beberapa sikap yang dapat kita ambil dalam menghadapi polemik seperti yang dijelaskan di atas:

  1. Meneliti atau menanyakan terlebih dahulu kepada pihak panitia zakat yang terkait, apakah mereka mendapatkan penunjukan dari imam dalam hal ini panitia yang mendapat SK dari BAZNAS atau tidak. Apabila mendapat SK maka keabsahan ibadah zakat fitrah kita dapat terjamin. Dan memberikan zakat melalui Imam/Amil lebih afdhol daripada memberikan zakat langsung kepada Mustahiq.

الدفع إلى الإمام أفضل للأحاديث السابقة ولأنه يتيقن سقوط الفرض به بخلاف تفرقه بنفسه فقد يصادف غير مستحق ولأن الإمام أعرف بالمستحقين وبالمصالح وبقدر الحاجات

Menyerahkan (zakat) kepada Imam lebih utama karena beberapa hadis yang sudah lalu dan karena menjadi pasti gugurnya kewajiban dengannya berbeda dengan memberikannya dengan sendiri karena terkadang menemui selain orang yang berhak dan karena imam lebih mengetahui dengan siapa yang berhak, dengan mashalah, dan dengan kira-kira kebutuhan [An-Nawawi, Majmu Syarh al-Muhadzab, Juz 6 halaman 165]

  1. Memberikan langsung kepada Mustahiq zakat yang merupakan salah satu dari Ashnaf delapan yang telah disebutkan dalam Surah at-Taubah ayat 60. Pemberian langsung zakat fitrah kepada Mustahiq lebih utama daripada mewakilkan kepada panitia zakat yang bukan Amil.

(الرابعة) في بيان الأفضل قال أصحابنا تفريقه بنفسه أفضل من التوكيل بلا خلاف

(Keempat) dalam menjelaskan keutamaan, Ashabuna (para ulama mazhab Syafii) berkata memisahkan (penyaluran zakat) dengan sendiri lebih utama daripada mewakilkan dengan tanpa adanya khilaf (perbedaan pendapat para ulama). [An-Nawawi, Majmu Syarh al-Muhadzab, Juz 6 halaman 165]

Keabsahan zakat fitrah merupakan suatu hal yang perlu diperhatikan karena zakat fitrah merupakan zakat nafsi/badan sehingga wajib bagi setiap muslim untuk menunaikannya. Seperti dalam hadis yang diriwayatkan dari sahabat Jarir bahwa pahala puasa akan diangkat dengan menunaikan zakat fitrah. Selain itu, zakat fitrah juga berfungsi untuk menambal kekurangan-kekurangan amaliah yang disebabkan kecerobohan manusia selama bulan Ramadhan. Bahkan orang yang memiliki kelebihan bahan makanan pokok yang tidak sampai satu sho’ pun tetap memiliki kewajiban untuk mengeluarkannya.

Dan semoga zakat fitrah bisa menjadikan kesempurnaan ibadah kita selama satu bulan Ramadhan.

Pentashih : Tim Lajnah Bahsul Masail al-Munawwir

Leave a Comment