Oleh : Fahri Reza Muhammad
22 tahun setelah kepergian K.H. Ahmad Munawwir ila rahmatillah, napak tilasnya tidak pernah luntur. Tulisan ini ditujukan sebagai bentuk hormat—dari hamba Allah yang berharap diakui sebagai muridnya—dalam peringatan Haul Kiai Ahmad. Tulisan ini merangkum kepingan kecil dari banyaknya aspek spiritual Mbah Mad yang tampak di mata santri. Beberapa bagian adalah cerita singkat dari ingatan para santri yang pernah membersamai Bapak—panggilan akrab para santri terhadap Mbah Mad.
Kiai Ahmad adalah kiai yang dikenal tegas, keras, dan disiplin kepada keluarga dan santri. Meskipun termasuk jajaran kiai besar di Krapyak, beliau memilih jauh dari hingar bingar kepopuleran pangkat maupun gelar. Mbah Mad tetap bersahaja menapaki jalan asketisnya mengajar Al-Qur’an sepanjang hayat.
Riwayat Singkat
Saat K.H. M. Munawwir berkunjung ke salah satu santrinya, Kiai Hasbullah Wonokromo Bantul, beliau tak sengaja bertemu gadis yang sedang menyapu halaman. Ketika tuan rumah berbincang dengan Kiai Munawwir, pembicaraan tertuju kepada gadis yang berpapasan dengan Kiai Munawwir. Tak disangka, gadis tersebut adalah putri tuan rumah. Karena rasa hormat yang tinggi atas sang guru, Kiai Hasbullah menawarkan putrinya untuk dipersunting Kiai Munawwir.
Pernikahan tersebut akhirnya dilaksanakan. Kiai Hasbullah begitu senang memperoleh menantu Kiai besar sekaligus gurunya sendiri. Gadis tadi bernama Khodijah. Ia yang masih belia menyerahkan hidupnya sebagai istri kepada Kiai Munawwir dalam membantu menyiarkan Qur’an. Terhitung istri kelima, Bu Nyai Khodijah tidak merasa sedih karena usianya terpaut jauh. Besarnya rasa cinta dan ketulusan tirakat Ibu Khodijah pada ujungnya membuahkan hasil. Pernikahan tersebut melahirkan ahli-ahli Qur’an hebat. Salah satu ahli Qur’an tersebut adalah Kiai Ahmad Munawwir.[1]
Kiai Ahmad adalah putra keempat dari lima bersaudara. Sejak kecil, Kiai Ahmad tidak pernah bertemu dengan sang ayah. Pada umur tiga tahun, Kiai Munawwir wafat dan tanggung jawab pengasuhan dipegang langsung Ibu Khodijah dengan kehidupan amat bersahaja. Karena tidak bisa mengaji secara langsung kepada Kiai Munawwir, persentuhan dan tempaan Kiai Ahmad dengan Al-Qur’an dibimbing langsung oleh K.H.R. Abdul Qodir Munawwir, kakak Kiai Ahmad.
Setelah dewasa dan khatam Al-Qur’an, Mbah Ahmad bertolak dari satu pesantren ke pesantren lainnya untuk mempertajam keilmuan, khususnya memperluas cakrawala keilmuan di bidang kitab. Tercatat Mbah Ahmad pernah mengaji kepada KH. Abbas (PP. Tugung Genteng Banyuwangi), KH. Umar Zahid (PP. Sampole Perak Jombang)—pada masa ini beliau bersahabat karib dengan Kiai Masduki, Pondok Perak Jombang—dan KH. Arwani Amin (PP. Kudus). Setelah puas menggali ilmu dan ada tuntutan kepengasuhan Al-Qur’an di Pondok Krapyak, beliau pulang ke kampung halamannya.
Pada fase selanjutnya, ketika merasa situasi para huffadz kurang kondusif karena tercampur muatan pengajaran kitab, Kiai Ahmad akhirnya mendirikan Madrasah Huffadz tersendiri yang awalnya bernama Ribatu Tahfidil Qur’an. Madrasah Ribatu Tahfidil Qur’an berlokasi di perbatasan Kotamadya Yogyakarta, kurang lebih 200 meter ke utara dari Pondok Al-Munawwir. Pondok tersebut kini menjadi Komplek L PP. Al-Munawwir.
Salawat dan Bangunan Pondok
Kiai Husein asal Bantul, santri dalem senior yang dianggap anak oleh Mbah Ahmad, bercerita ketika dulu ada bantuan uang dari pemerintah untuk pembangunan pondok, Mbah Mad amat selektif dalam kehalalan dan penggunaannya. Kiai Husein matur kepada Mbah Ahmad, “Pak ini kan bangunannya (bangunan pondok) tidak terlalu bagus, sudah tidak terlalu kuat untuk menyangga.” Jawaban Mbah Ahmad ternyata di luar dugaan. “Mbangun kui Sein, sing penting sholawate,” tutur beliau, dengan arti kurang lebih begini ‘Pembangunan itu, Sen, yang penting (membaca) salawat’. Dari penuturan itu terlihat kedalaman ilmu hikmah beliau.
Hal ini juga bermakna tidak semua unsur material bisa menjamin berhasilnya usaha apa pun di dunia. Ada unsur transedental atau nonmateriil yang meliputi, Kuasa Besar yang turut menentukan. Dapat dipahami, keberhasilan itu tergantung usaha lahir dan batinnya. Usaha lahir dengan pekerjaan dan dukungan material, sedangkan aspek batin lewat tirakat berupa amaliah rutin, seperti membaca Al-Qur’an, zikir, salawat, atau lainnya. Mbah Mad tentu punya wiridan sholawat tertentu yang dimaksudkan, boleh jadi rutinitas atau memang khusus meminta pertolongan Yang Maha Kuasa. Sayangnya, penulis belum menemukannya.
Selain mewiridkan Al-Qur’an, salah satu amaliah lain Mbah Mad adalah istikamah membaca akhir surah At-Taubah, tujuh kali setelah salat subuh. Mbah Mad rutin sekali membacanya bersama santri sehabis jamaah. Pernah suatu waktu, ada santri yang setelah salat, membaca wirid, sengaja pergi tanpa membaca amalan. Santri itu kemudian didukani sampai dicambuk rotan. Terlepas dari apa fadilah atau keutamaannya, yang jelas beliau perhatian sekali dengan amalan itu. Kiai Husein sambil tertawa mengingat kisah yang disaksikannya itu.
Mbah Mad dan Kayu Glugu
Di luar itu, ada cerita lain dari seorang santri Mbah Mad. Santri ini memiliki kesukaan mengikuti Mbah Mad ke mana pun. Karena kesukaannya membuntuti itu, santri tersebut menjuluki dirinya dengan santri “asu”.
Saat haul ke-84 Kiai Munawwir lalu, santri tersebut bercerita sambil berkelakar, mengingat kehidupannya dulu yang bandel. Untuk mendapat berkah dan dekat dengan seorang kiai, menurutnya, ada dua jalan yang dapat ditempuh seorang santri. Bisa dengan jadi santri manut atau jadi santri bandel. Ternyata ia memilih jalan kedua. Ke mana pun Mbah Mad pergi, mau itu pagi, siang, sore sampai malam, santri itu diam-diam mengawasi gerak-gerik Mbah Mad. Meskipun Mbah Mad juga tahu perilakunya, beliau tetap santai dan tidak menganggapnya serius.
Waktu itu dini hari ketika orang-orang pondok sedang terlelap, si santri mengikuti Mbah Mad yang tiba-tiba keluar dari ndalem menuju suatu tempat. Setelah diikuti, Mbah Mad ternyata ke belakang pondok. Saat itu banyak potongan glugu—batang pohon kelapa—yang berserak sehabis dipotong. Ia menyaksikan Mbah Mad membereskan glugu-glugu dengan hanya menendangnya. Setelah ditendang kayu itu menggelinding amat mudah. Tidak cukup ditendang, Mbah Mad juga mengangkatnya. Padahal kalau dilihat, postur tubuh Mbah Mad yang kurus rasanya tidak mungkin bisa melakukannya. Santri tersebut kaget dan heran dengan Mbah Mad dan menerka-nerka kejadian malam itu. Bagaimana bisa Mbah Mad sekuat itu. Apa sebabnya, sampai sekarang pun belum terjawab.
Menurut santri tersebut, kisah ini tidak pernah diceritakannya selama Mbah Mad hidup hingga saat temu alumni pada acara Haul Kiai Munawwir di Komplek L ke-84, dia mengungkapnya.
Akhir kata, masih banyak fragmen spiritual dari kehidupan K.H. Ahmad Munawwir yang belum terekspos, atau mungkin belum diperkenankan untuk diketahui. Penulis menyadari penelusuran ini masih amat sederhana. Tulisan kecil ini semoga dapat mengabadikan memori dan kenangan para murid atas sosok murabbi. Fragmen memori kehidupan Mbah Mad sebagai Kiai Qur’ani yang teladannya selalu membara di hati para santri dan muhibbin.
Alluhammaghfirlahu, al-Fatihah Simbah Kiai Ahmad Munawwir.
Editor : Ahmad Zamzama NH.
[1] Cerita pernikahan K.H. M. Munawwir dengan Ibu Khodijah penulis peroleh dari K.H. Muslim Nawawi, PP. An-Nur Ngrukem Bantul saat peringatan Haul K.H. M. Munawwir ke-84 di PP. Al-Munawwir, Komplek L.