Oleh: Hamied Bin Ja’far
Sudah bukan rahasia bahwa manusia merupakan makhluk paling sempurna bentuknya yang diciptakan oleh Tuhan. Manusia memiliki beberapa keunggulan yang tidak dimiliki makhluk lain. Di antaranya, manusia diberikan akal untuk berpikir, hawa dan rasa pada sesuatu yang dia kehendaki. Namun hal itu tidak serta merta membuat manusia menjadi sempurna atau lebih baik daripada makhluk lain. Butuh berbagai unsur dan sifat agar manusia tidak terjerembab kepada sesuatu yang menjadi larangan Tuhan. Di antaranya berupa khauf dan raja’.
Khauf, jika ditinjau dari pengertiannya, adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah karena pengabdiannya yang kurang sempurna, takut atau khawatir kalau-kalau Allah tidak berkenan kepadanya. Khauf juga bisa diartikan sebagai perasaan di mana seseorang akan bergetar ketika menemukan atau menemukan sesuatu yang tidak disukainya. Maka sikap khauf ini dilakukan dengan fungsinya: menghindari atau mencegah dari hal-hal yang mengandung kemaksiatan.
Sedangkan raja’ artinya suatu sikap mental optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Ilahi yang disediakan bagi hamba-hambanya yang shaleh. Inti dari raja’ ialah rasa berharap kepada rahmat Allah (hal yang disenangi) disertai dengan usaha agar mendapatkan rahmat Allah tersebut atau dengan kata lain mengikhtiarkan sababiyah-nya.
Dalam konteks hamba yang ingin mendekatkan diri kepada Allah, Al-Qur’an secara tegas menyatakan bahwa beberapa sifat yang patut dimiliki oleh orang-orang yang memiliki khauf dan raja’. Salah satunya berbunyi:
تَتَجاَفىَ جُنُوْ بُهُمْ عَنِ الْمَضَاجِعِ يَدْعُوْنَ رَبّهُمْ خَوْفًا وَطَمّعًا وَمِمَّارَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُوْنَ.
“Lambung mereka jauh dari tempat tidurnya dan mereka selalu berdoa kepada Tuhannya dengan rasa takut dan harap, serta mereka mereka menafkahkan rezeki yang kami berikan.” (QS. As-Sajdah: 16)
Jadi khauf dan raja’ ini bisa diibaratkan sebagai sayap, ia terbang dengan jernih dan harus dikepakkan secara bersamaan. Tidak boleh ada yang lebih tinggi dan tidak boleh ada yang lebih rendah. Oleh karena itu, khauf dan raja’ tidak boleh ada yang mendominasi. Jika kita, misalkan, memiliki rasa khauf atau takut yang terlalu besar, maka hal itu akan condong kepada akidah Khawarij. Yaitu berputus asa dari rahmat Allah. Sedangkan Allah adalah dzat yang maha pengasih dan penyayang.
Kemudian jika kita memiliki rasa raja’ yang terlalu besar, terlalu optimis, maka hal itu juga tidak baik. Itu bisa membuat kita terjerumus kepada salah satu akidah Murji’ah. Yaitu hilang rasa takut kita terhadap Allah, tidak takut dalam berniat untuk melakukan sesuatu yang tidak pantas dalam syari’at agama Islam. Padahal kalau kita memiliki rasa itu, maka dapat menjauhkan dari rasa takut terhadap Allah. Karena Allah sungguh-sungguh Syadidul ‘Iqob, Allah tidak akan segan-segan untuk menghukum hambanya yang tidak taat pada aturan-Nya.
Namun ada sebagian ulama lain yang juga berpendapat bahwa khauf dan raja’ ini harus didudukkan sesuai dengan kondisinya. Jika kita hendak melakukan ketaatan, maka sisi raja’-nya harus diutamakan. Karena itu bisa menjadikan kita untuk lebih giat dan semangat lagi. Sedangkan ketika kita hendak atau punya keinginan melakukan kemaksiatan dan keburukan, maka sisi khauf-nya harus dikedepankan, agar kita memiliki rasa takut, dan bisa terhindar dari kemaksiatan tersebut.
Imam al-Ghazali berpendapat di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, bahwa hakikat khauf dan raja’ terdiri atas hal, ilmu dan amal. Apabila hal-nya khauf dan raja’ ini tidak membekas pada amal, maka ia tidak bisa dikatakan sebagai khauf dan raja’. Ia hanya dikatakan sebagai kata hati saja. Jadi khauf dan raja’ itu tidak cukup hanya merasa takut dan berharap, merasa optimis kepada sesuatu yang ia kehendaki atau berharap kepada Allah saja. Tetapi khauf dan raja’ itu harus dimanifestasikan ke dalam perbuatan atau amal kita sehari-hari.
Oleh karena itu, mengutip dawuh Imam al-Ghazali bahwa khauf dan raja’ bisa menjadikan motivasi kita untuk tergerak dan menuntun kita terhadap hal yang mengandung ketaatan dan kebaikan serta bisa menjauhkan kita dari kemaksiatan.
Ketika seseorang terlena dalam optimisme yang tinggi (raja’), ia tidak merasa khawatir akan dosa-dosa yang telah, sedang, atau akan diperbuatnya. Baginya, ampunan Allah demikian luas sehingga dia dapat bertaubat kapan saja. Dia akan merencanakan taubat setelah puas melakukan kemaksiatan. Sebaliknya, dalam keadaan khauf yang berlebihan, hidup seseorang akan kacau dan tidak terkendali. Rasa bersalah dari dosa besar yang telah dilakukannya, menutupi harapannya untuk kembali ke jalan yang benar. Dia merasa dan meyakini bahwa apapun kebaikan yang diperbuatnya tidak akan sebanding dengan dosa dan kesalahan yang telah diperbuatnya. Akibatnya, dia tidak segera bertaubat, namun terus menenggelamkan diri dalam kemaksiatan.
Solusi yang terbaik dalam hal ini bagi seorang muslim dan mukmin adalah menerima juga mengembangkan konsep menyeimbangkan spiritualitas. Artinya, dia harus menyatukan antara khauf dan raja’ secara adil, dalam porsi yang benar dan tepat. Dalam kondisi (yang seharusnya) khauf, dia meyakini betul akan siksa Allah jika dia melanggar syari’at agama. Namun pada saat terlanjur dan tergelincir dalam kubangan dosa dan maksiat, dia (dengan membawa sikap raja’) dapat segera bertaubat dan meyakini bahwa taubatnya pasti akan diterima oleh Allah.
Kesan optimisme atas kasih sayang dan ampunan Allah inilah yang bisa membuatnya tersenyum di setiap saat. Namun rasa takutnya terhadap siksa atas dosa akan membuatnya “meneteskan air mata” di tengah malam saat dia berdzikir, bermunajat terhadap Allah, utamanya dalam qiyam al-lail.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab.