Oleh : Ahmad Aklilul Muntaha
Imam Syafi’i (150H-204 H) merupakan pembaharu dari ilmu ushul fiqih yang memang belum ada sebelumnya. Kedalamannya dalam memahami fiqih sudah tidak diragukan lagi oleh khalayak ramai. Hal ini dibuktikan dengan perkataan Abul Hasan Zayadi, “Imam Syafi’i adalah orang pertama yang berbicara tentang ilmu ushul fiqih sekaligus yang merumuskannnya”.
Selain itu, Imam Syafi’i juga memberikan andil dalam perkembangan fiqih dengan karyanya, kitab Al-Umm dan Ar-Risalah yang berisi pemikirannya tentang fiqih dan menjadi rujukan ilmu fiqih hingga saat ini. Sebagai bukti dari kealimannya pula ia mampu mencetak beberapa muridnya menjadi ulama besar di masanya. Di antaranya adalah Abu Ya’qub Yusuf bin Yahya al-Buwaithi atau sering dikenal dengan namanya Imam al-Buwaithi (w. 231H), Imam Abu Ibrahim Ismail bin Yahya al-Muzany atau sering dikenal dengan Imam al-Muzany (w. 246 H), dan lain sebagainya.
Sebelum menilik kealimannya mengenai fiqih, Imam Syafi’i dulunya merupakan seorang ahli di bidang syair. Namun, penyair pada masa itu di kalangan ulama merupakan hal yang tabu. Hal ini merujuk dalam QS. As-Syu’ara ayat 224.
Namun jika melihat keberadaan syair pada saat ini, syair justru lebih banyak digunakan untuk mendokumentasikan ilmu dengan harapan pembaca mudah menghafalkannya. Hal ini sesuai dengan perkataan orang Arab (الشعر ديوان العرب). Dalam nahwu, misalnya, adanya nadzm alfiyah, Imrithi, Nadzm maqshud menjadi bukti bahwa penggunaan syi’ir tidak sepenuhnya tabu di kalangan ulama.
Perspektif Fiqih-Tasawuf dalam Diwan as-Syafi’i
Imam syafi’i dalam diwan-nya [1]mengatakan perihal hal tekait dengan menggunakan bahr thawil:
فَقِيْهًا وَصُوْفِيًا فَكُنْ لَيْسًا وَاحِدًا * فَإِنّيْ وَحَقِّ اللهِ إِيَّاكَ أَنْصَحُ
فَذلِكَ قَاسٍ لَمْ يَذُقْ قَلْبُهُ تُقًى * وَهَذَا جَهُوْلٌ كَيْفَ ذُو الْجَهْلِ يَصْلُحُ
Maka jadilah ahli fiqih dan sufi, jangan menjadi salah satunya.
Sungguh Demi Allah, aku menasehatimu.
Sebab ahli fiqih itu kejam, hatinya tidak bertakwa (tidak berperasaan).
Sedangkan sufi itu bodoh, Lantas bagaimana orang bodoh mengubah sesuatu menjadi baik?
Dari bait di atas dapat diketahui bahwa Imam Syafi’i menganjurkan agar seseorang menjadi ahli fiqih dan tasawuf dengan porsi yang seimbang. Ketimpangan dapat terjadi jika seseorang lebih cenderung kepada salah satunya saja. Misalnya orang yang ahli fiqih tanpa diiringi dengan tasawufnya maka akan cenderung menggunakan fiqih sesuai kemauannya sendiri atau dapat dikatakan cenderung keminter, merasa dirinya paling benar dalam menjalankan syariatnya. Sedangkan orang yang ahli tasawuf saja tanpa diiringi dengan ilmu fiqih akan lebih cenderung kewalen, merasa dirinya sudah menjadi wali.
Contoh dari penggambaran di atas dapat dilihat dalam praktik zakat. Syarat zakat di antaranya adalah mencapainya nishab dan haul (satu tahun). Katakanlah Zaid sudah mempunyai kambing sebanyak 40 ekor, sudah mencapai nishabnya. Namun, kambing-kambing itu belum bisa dizakatkan karena belum mencapai satu haul. Ketika kambingnya yang sudah mencapai nishab itu akan mencapai haul, Zaid ini menjual seekor kambingnya sehingga gugur zakatnya lantaran dijualnya seekor kambing tersebut. Praktik ini sebenarnya sah-sah saja digunakan namun lebih terkesan ngakali syariat dengan mengurangi syarat-syarat suatu ibadah.
Sedangkan dalam praktik tasawuf yang tidak diiringi dengan ilmu fiqih dapat dilihat misalnya dari orang yang mengaku kasyaf dan mampu melihat hal-hal ghaib, yang kemudian hal itu dijadikan alasan bahwa ia sudah termasuk dalam golongan waliyullah. Padahal adanya peristiwa khawariqul adat tidak seluruhnya bermuara ke ranah kewalian, bisa jadi itu merupakan bentuk istidraj jika dialami oleh orang yang tidak bertaqwa kepada Allah Swt. Dalam kitab Jami’ Karamatul Auliya’, Syaikh Yusuf An-Nabhani mengatakan :
وهو ان تظهر خوارق العادات على من كان مردودا عن طاعة الله تعالى فهذا هو المسمى بالإستدراج
Dari segi definisinya saja, wali secara bahasa adalah dekat. Kewalian ini akan muncul apabila ada seorang hamba yang dekat dengan Allah Swt. sebab banyaknya ketaatan dan keikhlasan seorang hamba dan dengan adanya kedekatakan Allah Swt. melalui rahmat, keutamaan, dan kebaikan-Nya.
فإذا كان العبد قريبا من حضرة الله بسبب كثرة طاعته وكثرة إخلاصه. وكان الرب قريبا منه بحضرته وفضله وإحسانه فهناك حصلت الولاية.
Maka dari itu perlu istifadah dari pesan Imam Syafi’i yang termaktub dalam syi’irnya. Karena pentingnya keselarasan antara fiqh-tasawuf ini. Hal ini agar seorang faqih tidak merasa jumawa dan seorang sufi tidak terlepas dari syariat. Wallahu A’lam.
[1] Diwan as-Syafi’i, Abdurrohman al-Masthawi, (2005), Dar El-Marefah Beirut : 42-43