Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Legalitas Membatalkan Puasa ketika Mudik

Ilustrasi mudik (beritasatu)
Ilustrasi mudik. Sumber: beritasatu.com

Mudik merupakan kegiatan yang sudah menjadi tradisi bagi umat muslim di Indonesia. Mereka pulang ke kampung halaman masing-masing untuk bersua dengan keluarga, kerabat, maupun tetangga. Mudik sendiri merupakan implementasi perintah Kanjeng Nabi untuk menjaga tali silaturahmi sehingga banyak umat muslim Indonesia melakukan perjalanan ketika bulan Ramadan menjelang hari raya Idulfitri.

Syariat agama Islam memberikan keringanan bagi mereka yang mengalami kesulitan untuk menunaikan ibadah-ibadah wajib. Semisal orang yang berada di dalam perjalanan diperbolehkan untuk menjamak dan meringkas salat, bertayamum sebagai ganti wudu, dan membatalkan puasa (iftar). Membatalkan puasa dalam perjalanan memiliki pijakan dasar dari firman Allah SWT.

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَّرِيْضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

“… Dan barang siapa dari kalian sakit atau dalam perjalanan (dia tidak berpuasa), maka (wajib menggantinya) sebanyak hari yang ia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain…” (QS. Al-Baqarah: 184).

Kemudian para ulama menjelaskan bahwa keringanan ini ialah bersifat pilihan sehingga bagi orang yang berpuasa dalam perjalanan boleh memilih berpuasa atau tidak. Namun, apabila merasa keberatan untuk berpuasa maka lebih dianjurkan untuk membatalkannya. Dalam memilih membatalkan (iftar), para ulama juga merumuskan beberapa syarat yang harus terpenuhi sebagai berikut

Syarat Membatalkan Puasa

1. Jarak perjalanan

Dalam kebolehan untuk memilih tidak berpuasa, disyaratkan bahwa safar yang dilakukan adalah safar thawil, Imam Nawawi menjelaskan

وأما كون السفر طويلا فلا بد منه

Adapun sifat panjang (jauh) itu adalah suatu keharusan (Al-Nawawi, Raudhah At-Thalibin, Al-Maktab Al-Islami, 1/385)

Jarak minimal antara pemberangkatan dengan tujuan adalah sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab turats, yaitu empat burud. Sebagaimana disampaikan oleh al-Syairozi

فصل: فأما المسافر إن كان سفره دون أربعة برد لم يجز له أن يفطر لأنه إسقاط فرض للسفر فلا يجوز فيما دون أربعة برد كالقصر

Pasal: Adapun bagi seorang musafir, jika perjalanannya tidak sampai empat burud maka tidak diperbolehkan baginya untuk membatalkan puasa. Karena (musafir) tersebut menggugurkan kewajiban karena bepergian. Maka tidak diperbolehkan (membatalkan puasa) dalam perjalanan yang tidak sampai empat burud sebagaimana (kebolehan) dalam perkara meringkas (salat). (Abu Ishaq Al-Syairozi, Al-Muhadzdzab fi Fiqh Al-Imam Al-Syafi’i, Dar Kutub Al-Ilmiyah, 1/328)

Empat burud merupakan ukuran yang digunakan orang Arab pada zaman itu, yang kemudian dikonversikan menjadi 48 mil menurut ukuran Hasyimi. Secara jelas, Dr. Musthofa Al-Khin dan kawan-kawan mengonversikan ukuran ini ke dalam ukuran kilometer dengan bilangan 81 km.

2. Jenis perjalanan

Jenis perjalanan yang menjadi syarat diperbolehkannya membatalkan puasa adalah safar mubah. Artinya, tidak ada unsur maksiat di dalamnya, ataupun dalam tujuannya. Dalam kitab Al-Muhadzab disebutkan

وإن كان سفره في معصية لم يجز له أن يفطر لأن ذلك إعانة على المعصية

Jika perjalanannya dalam (tujuan) kemaksiatan maka tidak diperbolehkan bagi (musafir) untuk membatalkan puasa karena (perjalanan) tersebut merupakan perantara untuk bermaksiat. (Abu Ishaq, ibid).

Lebih lanjut, dalam kitab Nihayah dijelaskan, tidak adanya maksiat dalam perjalanan itu untuk urusan ketaatan, makruh, atau mubah.

وعدم المعصية سواء أكان السفر طاعة أم مكروها أم مباحا ولو سفر نزهة

Dan (bepergiannya) tidak untuk maksiat, baik bepergian untuk hal ketaatan, hal makruh, atau hal mubah meskipun bepergian untuk tujuan tamasya, (Al-Romli, Nihayah al-Muhtaj, Dar Al-Fikr, 6/156).

3. Mulainya perjalanan (Insya’ as-Safar)

Mayoritas ulama menjelaskan bahwa syarat seseorang boleh membatalkan puasa karena perjalanan adalah memulai perjalanan maksimal sebelum waktu subuh. Hal ini penting diperhatikan supaya orang yang berpuasa dalam perjalanan tidak memiliki status ganda, yaitu status mukim dan musafir. Imam Nawawi menjelaskan dalam Majmu’-nya

ومن أصبح في الحضر صائما ثم سافر لم يجز له أن يفطر في ذلك اليوم

Barang siapa memasuki waktu subuh masih di rumah dalam keadaan berpuasa kemudian pergi, maka tidak diperbolehkan baginya untuk membatalkan puasa pada hari itu. (Al-Nawawi, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzab, Dar Al-Fikr, 6/260)

Pendapat Imam Muzanni berbeda dengan pendapat Nawawi. Ia mengatakan bahwa orang yang pergi jauh di siang hari, di tengah perjalanan boleh membatalkan puasanya. Imam Muzanni meng-qiyas-kannya dengan orang yang sehat di pagi hari, lalu di tengah hari mendadak sakit yang diperbolehkan membatalkan puasanya.

وقال المزني له أن يفطر كما لو أصبح الصحيح صائما ثم مرض فله أن يفطر

Al-Muzanni berkata “Bagi orang yang pergi (setelah subuh) boleh untuk membatalkan puasa sebagaimana orang yang masuk waktu subuh dalam keadaan sehat dan berpuasa kemudian sakit maka baginya boleh untuk membatalkan puasa”. (ibid)

Menurut pendapat yang utama dalam mazhab syafii adalah pendapat yang pertama, yang menyatakan tidak diperbolehkan membatalkan puasa. Argumentasinya adalah kasus orang sakit dengan orang pergi tidak bisa disamakan. Orang sakit pijakan hukumnya adalah karena adanya dhoruroh (terpaksa), sedangkan orang yang pergi pijakan hukumnya adalah safarnya.

والمذهب الأول والدليل عليه أنه عبادة تختلف بالسفر والحضر فإذا بدأ بها في الحضر ثم سافر لم يثبت له رخصة السفر كما لو دخل في الصلاة في الحضر ثم سافر في أثنائها ويخالف المريض فإن ذلك مضطر الى الإفطار والمسافر مختار

Yang menjadi acuan madzhab adalah yang pertama. Argumentasinya bahwa ibadah dapat berbeda (hukumnya) sebab pergi dan di rumah. Apabila dimulai dari rumah kemudian pergi, maka (musafir) tidak mendapatkan dispensasi bepergian sebagaimana orang yang salat di rumah lalu pergi di tengah-tengah waktu salat itu, hukumnya tidak mendapatkan keringanan. Berbeda dengan orang yang sakit, orang yang sakit memang terdesak atau darurat untuk membatalkan puasa, sedangkan orang yang pergi itu opsional, bisa memilih. (ibid)

Demikian syarat-syarat yang harus terpenuhi jika seorang yang berpuasa ingin membatalkan puasanya karena bepergian. Puasa bagi musafir menurut para ulama adalah opsional karena dalilnya, ada beberapa saat Rasulullah saw. tetap berpuasa dan pada saat yang lain tidak. Namun, terdapat perbedaan pendapat (khilaf) antara para ulama terkait mana yang lebih utama. Imam Al-Haramain memberikan jalan tengah sebagaimana berikut

فالمسافر بالخيار بين الصوم والإفطار والصوم أفضل من الفطر إذا لم يظهر ضرر

Maka musafir bisa memilih antara berpuasa dan tidak. Berpuasa itu lebih utama apabila tidak tampak adanya bahaya (baginya). (Imam Al-Haramain, Nihayah Al-Mathlab, Dar Al-Minhaj, 4/51).

Penulis: M. Khoiru Ulil Abshor
Editor: Fahri Reza M.

Leave a Comment