Ayah masih mengusap perlahan belantannya dengan kain basah di beranda saat aku hendak keluar rumah. Beledi berisi air bersih terhampar di depannya. Ia tampak gembira pagi ini. Sambil berjongkok, ia mendendangkan kasidah berbahasa arab yang entah apa artinya. Aku sering mendengar darinya tapi tak pernah paham. Suaranya yang tak merdu-merdu amat, juga tak sumbang sebetulnya, sudah biasa masuk telingaku.
Pantas subuh tadi ia bangun bergegas. Aku lupa jika belantan-belantan itu harus dikeluarkannya setelah di kolong lemari mendekam lama. Tak heran jika kotor, coreng-moreng penuh debu. Terpandang seperti usang, namun selalu masih kuat digunakan. Kalau kau boleh tahu, hanya menjelang Idulfitri seperti inilah ayah mengeluarkan belantan kesayangannya itu. Bertahun-tahun seperti itu. Konon, kakekku yang membuatkan belantan-belantan itu dari kayu jati belakang rumah.
“Keluar sebentar, Yah. Mau beli cabe rawit dan petis udang,” basa-basiku ketika melewatinya. Ibu pasti sudah menunggu di depan tungku. Sebab lontong balapnya esok subuh sudah harus tersuguh.
***
Orang-orang kampung mengenal ayah tak lebih dari pemukul beduk yang andal. Bertahun-tahun ia telah dipercaya Kiai Samin, sesepuh dan takmir langgar kami, untuk memukul beduk sebelum azan dikumandangkan. Dalam setahun, kalau kau pernah menghitung jumlah salat fardu, juga sebanyak itulah ayahku harus menggedor beduk. Belum lagi ditambah ketika hendak salat sunah tahunan seperti salat gerhana, atau bahkan, nauzubillah, saat ada bencana, beduk itu juga ditabuh oleh ayah. Demikian bertahun-tahun ayah rutin menjalani.
Karena itu, jika ayah uzur, menganggurlah belantan besar satu-satunya yang tersedia di langgar. Alih-alih menggantikannya, orang-orang justru segan melangkahi titah Kiai Samin tanpa seizinnya. Entahlah, barangkali wibawa Kiai Samin terlalu agung untuk dilewatinya.
Seperti ketika ayah sakit tempo hari. Tubuhnya demam tinggi dan persendian kakinya nyeri. Ia tak kuat berjalan barang ke beranda rumah. Maka selama itu, beduk tak pernah bergetar. Imbasnya, jamaah salat menjadi sedikit. Langgar sepi. Salat maghrib yang biasanya 5-6 saf, saat itu hanya 3 saf yang terisi.
Pengeras suara saja tak bisa diandalkan. Suaranya patah-patah. Padahal pengeras suara itu sudah diganti berkali-kali oleh Munadi, tetapi tetap saja suara yang dihasilkan seperti suara bel sepeda yang kehabisan aki. Hendak membangun menara, biar corong suara bisa tertancap di ujungnya, apalah daya langgar kami tak punya dana. Kiai Samin sudah lelah dengan janji Munadi dan sampai sekarang pengeras suara itu dibiarkan terpancang di bawah plafon dengan suara yang tetap parau, entah sampai kapan.
Akhirnya, Kiai Samin yang tak sabar melihat saf salatnya semakin terkikis, terpaksa menyuruh Mas Jinan, putra semata wayangnya, agar memukul beduk. Mas Jinan pun mengganti sementara tugas Ayah. Ia memukul beduk dengan belantan kayu yang sama dan cara yang mirip dilakukan Ayah. Berkali-kali. Berhari-hari dan aneh, jumlah saf salat seperti tak meningkat.
Pikirku, mungkin atas sebab inilah Kiai Samin enggan menyerahkan belantan besar ini kepada selain ayah. Beliau sendiri yang tahu mengapa.
“Ayo yang keras. Lanang kok lemah!” Seru Kiai Samin setelah mengetahui jamaahnya tak bertambah.
Mas Jinan pun tersulut menguatkan entakan belantannya ke punggung beduk. Sekali dua kali masih energik. Lama kelamaan tangannya terkulai payah juga. Pukulannya memelan dan drama ini berakhir ketika Mas Jinan berkelit dari perintah abahnya dan bertekad menjadi makmum masbuk saja.
Demikian, cerita Kiai Samin tempo hari saat menjenguk ayah. Sambil memijit-mijit lututnya, aku mendengar cerita dengan saksama.
***
Tanpa mengikuti wiridan di langgar, aku langsung pulang. Sejak azan maghrib bergema, perutku memanggil-manggil nasi opor buatan ibu. Keluarga kami selalu mendahulukan panggilan azan daripada makan nasi. Tepat ketika muazin memulai takbirnya, kami hanya berbuka dengan air secukupnya, ditambah beberapa kurma. Di antara kami sekeluarga, aku yang paling muak dengan peraturan ini dan selalu pulang paling gancang. Tak kuat dengan lapar yang menyerang.
Tak lama kemudian, ketika aku menuangkan kuah ke piring, pintuku terkuak. Deriknya menarikku untuk menoleh. Ayah datang, bersandar di kursi rotan, setelah sejenak mengalit tombol on televisi di ruang depan. Tumben wiridan di langgar belum rampung.
Ah, lupa. Selain aku, ayah sebenarnya juga pulang tanpa ikut wiridan. Hanya, jika aku hampir sebulan melakukannya, ayah hanya hari terakhir bulan Ramadan. Jika aku pulang untuk nasi, ayah untuk televisi.
Di antara sekian waktunya memukul beduk, ayah pernah bercerita jika ia paling gemar saat menyambut hari raya. Bukan karena hari itu sudah tidak berpuasa, tapi karena pada malamnya ayah mempertunjukkan kehebatan beduknya. Saking dinantinya, aku tak menyangka, hal yang ia lakukan pertama saat kalender baru tiba adalah membubuhkan lingkaran besar dengan spidol pada tanggal hari raya, angka merah tak cukup.
Sebab itu, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, Ayah tak pernah tertinggal menyimak sidang isbat lewat televisi. Matanya menanap layar sejak acara belum dilangsungkan. Ia berganti-ganti posisi; bersila dan menjuntaikan kakinya. Tampaknya ia cemas. Mungkin tak sabar segera terjawab penantiannya. Sampai Ibu pulang, wiridan telah selesai, Ayah masih termangu di atas kursi. Sambil mengamatinya, aku menikmati suap demi suap nasi.
Ketika menteri agama telah mengetokkan palu, hari raya jatuh esok, ayah melonjak gembira, seakan dunia seisinya ada di genggamannya. Mulutnya menggumamkan lagu-lagu ceria, tak jelas liriknya. Bergegas ia menuju dapur, berpesan pada ibu agar lontong balap lekas dirampungkan, sehingga bakda subuh sudah tak berpeluh-peluh lagi dengan periuk atau panci.
Ia juga bertanya padaku, memastikan baju yang hendak dikenakan besok telah disetrika. Baju-baju itu dari tabungan ayah sendiri. Dengan rejeki pas-pasan, tekadnya membeli baju setiap hari raya serupa tekad muslim pergi ke Makkah. Aku kagum.
Seberes itu, ayah keluar ke teras mengambil belantan-belantan yang telah dibersihkan tadi. Membopong 8 batang. Lalu mengajakku bersiap-siap menuju langgar. Dari sana, gema takbir samar-samar terdengar.
Sesampai di langgar, kami menuju serambi utara, tempat beduk kukuh berdiri. Beduk itu memiliki diameter sekitar 120 cm dan panjang 180 cm. Kayunya berwarna coklat gelap, namun mengkilap. Ayah tak pernah tampak ragu meski harus menggedornya keras. Sebab kulit yang terpasang adalah kulit berwarna putih yang tebal. Perabot berat ini disangga 4 kayu panjang yang saling silang. Dari kejauhan, beduk ini sungguh berwibawa.
Beberapa anak seumuranku meloncat-loncat gembira begitu ayah tiba. Tampaknya mereka menunggu pertunjukan ini dari tadi. Ada yang bersiap dengan sebatang kayu jambu. Tapi lebih banyak yang tak membawa apa-apa. Mungkin hanya berharap mendapat pinjaman dari belantan Ayah.
Tak semua dari mereka aku kenal. Sepertinya ada yang dari desa sebelah. Pertunjukan ayah memang sudah masyhur. Rutin bertahun-tahun. Dari satu malam Idulfitri ke malam Idulfitri lain tanpa pernah berhenti. Entah siapa yang memulai, orang-orang sampai memiliki sebutan: “orkestra beduk”.
Tak semua anak dapat turut bermain bersama. Mereka bergantian, tergantung ayah mengaturnya. Biasanya ayah butuh 4 anak untuk bergabung. Setiap anak memegang dua belantan kecil berbentuk lonjong memanjang, sedangkan ayah memegang belantan yang juga dipakai untuk pemukul beduk keseharian. Diameternya lebih besar. Salah satu ujungnya membulat besar, mirip pentol yang ditusuk biting dalam skala besar. Inilah belantan utusan Kiai Samin.
Dengan cara yang sulit dijelaskan, ayah mengatur bagaimana mereka hendak memainkan “orkestra” ini. Setelah dipilih 4 anak pertama, ayah memberi arahan. Meskipun, aku yakin anak-anak sudah tahu caranya. Ayah memberi contoh bagaimana cara menabuh, menata irama serentak, juga mengatur nada kompak. Ia bertindak semacam dirigen. Aku yang kikuk pada hal berbau musik hanya melihatnya dari dalam langgar.
Sementara di serambi mereka menciptakan musik dari beduk, aku dan 3 orang teman melantunkan takbir dari dalam. Sebagaimana mereka, kami bergantian mendendangkan takbiran sebab hanya ada satu mikrofon. Meskipun berbeda tempat, aku merasa berbaur dalam satu orkestra. Oleh ayah, kami dilarang berhenti sebentar. Katanya, agar tercipta kombinasi pas antara irama beduk dengan gema takbir. Paling tidak kombinasi itu dapat ditangkap ketika didengar dari area langgar. Sebab, di luar, suara takbir yang samar-samar dilahap habis oleh gema beduk yang menggelegar.
Saat dentuman beduk bergaung ke kampung itulah semakin banyak anak yang berduyun-duyun ke langgar. Tak hanya mendengarkan dari dekat, mereka juga ingin menjadi pemain orkestra.
Di antara semua, ayahlah yang tampak paling bersemangat. Semangatnya memimpin orkestra beduk tampak semakin berdesir ketika mendengar anak-anak bertakbir. Kian cepat memainkan beduk, kian keras lengking anak-anak. Mereka berteriak-teriak sampai serak. Tak pelak, suara takbir langgar pun makin tenggelam, tetapi malam Idulfitri terasa makin syahdu.
Sambil menemani anak-anaknya, kadang ibu-ibu membawakan pisang goreng, wedang teh, es dawet. Bermacam-macam makanan dan minuman dijajakan di sebelah utara beduk. Jajanan ini semakin malam malah membeludak, meskipun yang menyantapnya tak banyak. Mereka hanyut dalam irama takbir dan orkestra.
Pada saat-saat itulah, om Nizar juga datang. Ia bukan penduduk asli dan berketepatan hendak mudik ke mertuanya di kampung ini. Ia dan istrinya bersua di kampus dan sedang bermukim di kota, tak jauh dari sini sebenarnya.
Semula om Nizar menghampiri anaknya yang sedang duduk-duduk di undak-undakan langgar. Aku tak tahu nama anak itu. Ia tampak gembira, sebelum papinya menjemput paksa dan tiba-tiba merengek mencoba melepaskan tarikan papinya.
Tapi tak lama, om Nizar kembali datang mendekati ayah. Tak tahu bagaimana asal-usulnya, ia meminta ayah berhenti dari kegiatan ini. Keduanya terhanyut dalam perang urat syaraf. Ia tetap memaksa berhenti, meski ayah mengatakan,
“Ini kan hanya perantara agar anak-anak bersemangat menghidupkan malam hari raya dengan takbiran”.
“Aku khawatir bidah menjadi hal biasa di kampung ini, Pak.” Tangkis om Nizar.
Kami yang tadinya berkeriau, kini termenung menatap dua orang dewasa berdebat. Aku pun turut keluar dari dalam langgar. Ayah tampak memeluk pinggang om Nizar, menggiringnya keluar. Suasana langgar mendadak lengang. Para pemain orkestra tiba-tiba lunglai. Entakannya semakin pelan.
“Ayo, lanjut lagi!”.
Suara ayah memecah tak lama kemudian ketika tiba di serambi utara.
“Satu, dua, tigaa..”
Barisan orkestra pun bermain seperti semula. Pukulan mereka kembali membahana. Takbir-takbir melengking mengangkasa. Semua tampak bergairah. Tapi dari tempatku, aku seperti melihat pukulan ayah yang tak sekeras dan segarang sebelumnya. Seperti ada sesuatu yang mengganjal dalam setiap entakanya, tetapi entahlah yang penting orkestra tetap berlanjut.
Saat waktu isya makin dekat, ayah menuntaskan orkestranya. Seketika tepuk tangan bersipongang memenuhi serambi utara. Ia disanjung orang-orang terutama ibu-ibu yang berterima kasih sebab orkestra ini mampu menarik hati anak mereka untuk takbiran di langgar saja, daripada melihat petasan di jalan raya.
Setelah itu, semua kudapan digelar di tengah langgar. Kami tertib melingkunginya serupa semut yang merubung tumpukan gula. Tak ada yang berebutan. Jumlah kudapan begitu melimpah. Tak mungkin tak kebagian. Kami menyantapnya sebelum pergi ke serambi selatan. Belum sampai di tempat wudu, beduk kembali bergetar hebat. Suaranya bergemuruh memenuhi langgar. Azan isya sudah waktunya dikumandangkan.
***
Lekatnya sosok ayah dengan belantan, dan ciamiknya dalam memainkan beduk, menyebabkan gema yang ia ciptakan melampaui batas-batas waktu dan ruang. Paling tidak bagiku sendiri.
Bertahun-tahun kemudian, setiap kali menjumpai beduk masjid-masjid di kota yang aku singgahi, ingatanku terpaut pada beduk istimewa ayah. Rasanya setiap gelegar beduk yang menusuk rumah kontrakanku ini berasal dari entakan belantan ayah. Sejauh apapun aku berkelana, gaung beduk ayah senantiasa menggantung di daun telinga.
Oleh sebab itu, aku begitu bahagia ketika mendapatkan kesempatan pulang ke kampung sewaktu hari raya. Sekalian bersilaturahmi ke keluarga, sanak-saudara, para tetangga. Menziarahi langgar yang bagiku tak ada duanya di seluruh dunia. Dan tentunya mengobati rinduku untuk ikut dalam orkestra beduk bersama ayah.
Betapa aku tercengang bukan kepalang begitu adik mengabariku, “Sudah lama ayah tak lagi memainkan beduk…”
“Kenapa bisa?” nadaku meninggi, “aku pikir tangan ayah masih sangat kuat mengangkat belantan!”
Adikku memaparkan, sejak Kiai Samin wafat, langgar berangsur sepi. Orang-orang tak lagi bergairah meramaikannya, seakan tak merelakan kepergiannya tetua kampungnya. Kesedihan mereka demikian dalam hingga tak menyadari bahwa tak ada lagi yang bisa memimpin kegiatan keagamaan di kampung ini. Mas Jinan yang telah lama digadang-gadang pun ternyata tak dapat diandalkan.
Dalam keadaan yang genting dan kosong itu, cerita adikku, datanglah Ustaz Nizar. Perlahan ia menghidupi langgar. Istikamah salat di saf depan, menjadi muazin. Bahkan kadang menjadi imam. Bisa dikatakan, dialah yang paling bersemangat diantara lainnya. Maka diangkatlah ia menjadi takmir.
“Seketika itu, beduk dipindahkan begitu saja ke belakang rumahnya. Padahal beduk itu masih…”
Aku terperangah. Aku tak kuasa mendengarkan kelanjutannya dan langsung bergegas ke serambi utara. Betul saja, tak ada lagi beduk di sudut sana. Selain itu, sebuah corong suara terpancang di ujung batang bambu yang berdiri di ujung sana. Aku terenyuh. Ditinggal lama, langgar ini sudah banyak berubah.
Malam itu, aku tak berhasrat pergi ke mana-mana. Pikiranku terikat pada betapa kecewa ayah. Lagi-lagi aku tak kuasa membayangkannya. Hanya duduk-duduk di beranda, segala kenangan kampung merasukiku. Dentuman petasan menggetarkan kursi rotanku. Lalu hening. Astaga, aku masih mendengar alunan beduk ayah. Begitu keras. Cepat-cepat aku menuju kamarnya. Terlambat! aku mendapatinya terlelap di atas tikar memeluk erat belantannya, serupa memeluk istri kinasihnya.
*dalam versi yang berbeda, naskah ini terkumpul dalam antologi Pandemi, Sekoci, dan Beduk Masjid (Yogyakarta, 2020)
oleh : Ahmad Zamzama NH. (Santri Al-Munawwir Komplek L)