Santri selalu dipandang sebagai orang yang paham agama karena selalu dikaitkan dengan lembaga pendidikan yang khusus memperdalam ilmu keagamaan. Selama belajar di pondok pesantren santri berkewajiban belajar Al-Qur’an dan Kitab. Keilmuan yang mereka dapat harus dipertanggungjawabkan, dengan cara mengimplementasikan nilai-nilai agama ke dalam masyarakat setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di pesantren. Santri harus bisa menjadi penengah di tengah permasalahan yang terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu santri harus memanfaatkan waktu semaksimal mungkin untuk mempelajari ilmu agama dan mempertanggungjawabkan identitas kesantriannya setelah terjun ke masyarakat.
Faktanya, santri di pondok pesantren saat ini mulai mengalami perubahan akibat pengaruh globalisasi. Salah satu perubahan yang dialami santri adalah kedisiplinan waktu dalam melaksanakan tanggung jawab penyetoran hafalan Al-Qur’an. Dalam mempelajari ilmu agama, santri harus memiliki kedisiplinan yang tinggi. Tanpa adanya kedisiplinan maka seorang santri tidak akan mampu mencapai atau menyelesaikan kurikulum yang telah ditentukan oleh pondok pesantren.
Digitalisasi sudah menyebar ke berbagai bidang salah satunya institusi pendidikan seperti pondok pesantren. Pada saat ini pengetahuan tidak hanya dapat dipelajari di pondok pesantren tetapi bisa diakses melalui teknologi yang ada. Gadget merupakan produk dari digitalisasi yang dinilai sangat efisien sehingga banyak diminati oleh berbagai kalangan. Santri salah satu konsumen digitalisasi, melalui kemudahan yang disediakan oleh teknologi dapat mempermudah mempelajari ilmu agama. Sebelum adanya digitalisasi naskah-naskah keagamaan seperti Al-Qur’an, Kitab, Hadist berbentuk buku cetak, sedangkan di jaman modern naskah keagamaan sudah diubah dalam bentuk digital.
Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta menjadi salah satu institusi yang mengimplementasikan digitalisasi. Hal ini dibuktikan dengan adanya peraturan yang memperbolehkan santrinya membawa alat komunikasi. Melalui kebijakan yang diterapkan oleh pesantren dapat membantu mengoptimalkan proses dalam belajar. Akan tetapi, kebijakan tersebut dapat menimbulkan dampak negatif seperti kecanduan game online, chatting-an, dan nobar sepak bola. Sehingga santri bisa melalaikan kewajibannya di pondok pesantren, seperti dalam mempersiapkan setoran hafalan Al-Qur’an.
Untuk menanggulangi problem yang terjadi, pengurus seharusnya memberikan pemahaman mengenai regulasi diri untuk mempertahankan kedisiplinan waktu dalam menghafal Al-Qur’an dan belajar Kitab. Menurut Raffaelli, Crockett dan Shen (2005) mengatakan regulasi diri menyangkut kapasitas pribadi yang secara internal diarahkan untuk mengatur emosi, perhatian dan perilaku agar dapat memberi respon secara efektif terhadap tuntutan internal dan lingkungan. Regulasi diri merupakan usaha untuk melakukan kontrol terhadap pikiran, perasaan, dorongan-dorongan dan keinginan serta kinerja mereka (Baumister & Heatherton, 1998).
Maraknya digitalisasi membuat kapasitas diri santri tergoyahkan karena turunnya manajemen kontrol dalam mengatur emosi, perhatian, dan perilaku akibat kecanduan gadget yang kemudian mempengaruhi kedisiplinan waktu dalam melaksanakan kewajiban hafalan Al-Qur’an. Maka pengaturan diri menjadi hal yang penting untuk mengontrol perilaku santri dalam memanfaatkan gadget. Regulasi diri ini bisa dilakukan dengan mempertahankan kelurusan niat, memiliki kemauan yang kuat, disiplin dalam menambah hafalan, dan menyetorkan kepada guru serta mampu menjaga hafalan Al-Qur’an. Untuk mencapai regulasi diri, santri harus memiliki kesadaran terlebih dahulu untuk membenahi kesalahan atas kedisiplinan waktu.
Dalam proses membenahi kedisiplinan waktu akibat digitalisasi, santri harus memiliki manajemen waktu dalam menggunakan alat elektronik dengan cara membatasi penggunaan gadget dalam sehari. Kemudian intensitas penggunaan gadget harus dikurangi secara bertahap agar mampu mencapai regulasi diri sehingga dapat membenahi kedisiplinan waktu yang menurun. Karena dalam proses menghafal Al-Qur’an perlu membiasakan nderes (kegiatan mengulang-ulang hafalan) secara mandiri dan dilakukan secara rutin sehingga pada akhirnya kegiatan itu menjadi bagian dari diri sendiri dan muncul perasaan membutuhkan jika tidak melakukan. Jika telah mencapai pada tahap ini, maka kegiatan menghafal akan menjadi lebih mudah karena telah didorong oleh rasa kebutuhan untuk melakukannya.
Proses menghafal Al-Qur’an bukan merupakan hal yang mudah dan membutuhkan waktu yang panjang karena harus menghafal isi Al-Qur’an dengan kuantitas yang sangat besar, yaitu terdiri dari 114 Surat, 6.236 Ayat, 77.439 kata, dan 323. 015 huruf, dimana simbol huruf yang ada di Al-Qur’an berbeda dengan simbol huruf dalam Bahasa Indonesia. Oleh sebab itu santri harus bisa meregulasi diri sebagai tameng dalam menghadapi digitalisasi. Karena kedisiplinan santri hanya bisa dicapai ketika mereka bisa melakukan manajemen waktu secara baik dan benar tanpa harus menghilangkan salah satu aspek yang juga memiliki sisi positif seperti digitalisasi.
Penulis : Abdul Waris
Referensi :
Chairani Lisya, Subandi, 2021. Psikologi Santri Menghafal Al-Qur’an: Peranan Regulasi
Diri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Jauhari Imam B, 2012. Teori Sosial: Proses Islamisasi dalam Sistem Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar