Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Ragam Pendidikan Al-Quran di Nusantara

pendidikan Al-Quran di Nusantara
Sumber : Tim Media almunawwir.com

Bagaimana metode menghafal Al-Quran yang relevan di tengah zaman kiwari? Jika memang menghafal Al-Quran itu untuk menjaganya, apakah teknologi informasi tidak dapat menggantikannya? Bagaimana inovasi yang tepat dalam mengembangkan pendidikan Al-Quran di Nusantara? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mencuat dalam diskusi sesi panel ke-1 pada rabu (16/10), dalam rangka Multaqo Ulama Al-Quran Nusantara 2022 di Pondok Pesantren Krapyak , Yogyakarta.

Diskusi memang tidak mengarah pada jawaban-jawaban darinya, tetapi cerita para narasumber tentang ragam metode pendidikan Al-Quran di Nusantara merupakan hal yang menarik dan berangkat dari pertanyaan semacam itu.

Lilik Umi Kulsum, salah satu narasumber, menceritakan tentang metode ciptaannya yang ia sebut dengan metode “Tauhidiyyah”.

“Metode ini mengidentifikasi penghafalan lafaz dan latihan menulis tafsir makna, meskipun maknanya tidak harus mendalam banget,” ungkap pengasuh Padepokan Ngasuh Roso Ayatirrahman, Bogor tersebut.

Sebelum itu, Dr. Lilik pernah pergi ke Iran dan Turki untuk penelitian tentang pendidikan Al-Quran. Di Iran, menurutnya, ada program pendidikan bahwa seorang murid harus hafal 1071 kata Al-Quran sebelum masuk kelas tahfidz. Sementara itu, di Turki ada lembaga Sulaimaniyah yang program pendidikan Al-Qurannya sudah banyak dibuka di Indonesia.

Dr. Lilik yang juga menjadi dosen UIN Jakarta itu menilai, meski mendapat penilaian negatif dari beberapa akademisi dan masyarakat, menghafal Al-Quran tetap harus ia terapkan kepada santri-santrinya.

“Menghafal saja sulit dan butuh waktu lama, apalagi memahaminya?” ungkap murid KH. Mufid Masud Pandaranan tersebut.

Senada dengan itu, KH. Aunur Rofiq Mansur juga sepakat bahwa usaha nyata dalam pemeliharaan Al-Quran adalah dengan menghafalnya. Meski demikian, hal itu harus disesuaikan juga dengan zamannya.

Kiai Rofiq menceritakan tentang Pesantren Bustanul Huffadz Assa’idiyah, lembaga pesantrennya yang didirikan oleh kakeknya pada 1917. Pesantren ini takhasus pada pendidikan Al-Quran. Menurutnya, sejak didirikan sampai tahun 1980 pesantrennya tak pernah lebih dari 100 jumlah santrinya. Di masa abahnya bahkan pernah santrinya tinggal 5.

“Kata abah, andai santrinya tinggal satu pun ia harus tetap mengaji,” ceritanya.

Setelah itu ada inisiatif untuk memberi pendidikan madrasah diniyah di pesantren, yang ternyata membuat peningkatan kuantitas santri. Belakangan, Kiai Rofiq juga mendirikan pendidikan formal milik pesantrennya sendiri. Kini jumlah santrinya mencapai 10.000 lebih. Namun, menurutnya, meski telah berkembang pesat sedemikian rupa, metode dasar yang telah ditanam sejak masa kakeknya tidak pernah berubah.

“Bada subuh setoran Al-Quran, kalau bada maghrib ya muroja’ah,” tutur kiai asal Sampang tersebut.

Sementara itu narasumber lain, KH Syam Amir Yunus, menceritakan bagaimana perkembangan lembaga pendidikan dan menghafal Al-Quran di Sulawesi Selatan. Menurutnya lembaga tahfidz pertama di Sulawesi Selatan berada di Wajo, yang bernama Madrasah Arabiyyah Islamiyyah. Perkembangan lembaga pendidikan di Sulawesi Selatan juga tidak lepas dari Bapak Kalla, ayahanda Jusuf Kalla. Dan sekarang di kabupaten Gowa juga ada program satu hafiz satu desa.

Selain itu, Kiai Syam Amir juga menceritakan pengalamannya saat menyetorkan Al-Quran secara online kepada KH Ahsin Sakho Muhammad pada tahun 2008.

“Jadi jauh sebelum masa pandemi saya sudah melakukannya kepada Kiai Ahsin,” tutur pengasuh Pesantren Al-Imam ‘Ashim Makassar tersebut.


Reporter : Ahmad Zamzama NH.

Leave a Comment