Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Refleksi al-Qur’an: Orisinalitas Wahyu yang “Terjajah” Budaya Arab

Foto Al-Qur’an

Selama ini banyak santri-santri di pondok pesantren yang menghafal dan bahkan mengkaji ‘ulum al-Qur’an. Tidak sedikit lomba tahfiz al-Qur’an berserakan setiap tahunnya dalam usaha mengagungkan al-Qur’an sekaligus memompa motivasi santri agar dapat melanjutkan estafet keilmuan para ulama generasi sebelumnya. Bukan sekadar lomba-lomba saja, bahkan pembangunan rumah tahfiz menjamur di sudut-sudut wilayah Nusantara, khususnya di daerah Jawa.

Belum lagi pertikaian pendapat hadits-qadim­-nya al-Qur’an oleh para masyaikh kita di era klasik. Imam Hanafi (699 M-767 M) mengatakan bahwa al-Qur’an hanya maknanya saja. Namun Imam Syafii (767 M-820 M) mengatakan bahwa al-Qur’an bukan sekadar makna, melainkan juga meliputi lafaz. Pendapat ketiga menyebutkan bahwa selama wahyu Tuhan berada di Lauh al-Mahfuz, ia bernama kalam nafsi (sebuah kalam tanpa ikatan kata) yang bersifat qadim. Dan ketika dibawa ke bumi kalam itu menjadi kalam lafzi yang bersifat hadits.

Perdebatan semacam ini pada koridor ilmu kalam, memang menjadi pertandingan yang tak usai dibahas dan masih terus berlangsung hingga hari-hari ini. Begitu juga umat Muslim yang “koar-koar” perlunya segala sesuatu hal dikembalikan kepada al-Qur’an dan sunnah tanpa menyelidiki dengan kritis perangkat yang mereka yakini sebagai “kebenaran mutlak”.

Belum lagi ketimpangan gender yang masif oleh kalangan pemeluk agama juga ikut memberi “sentilan” terhadap pembenaran-pembenaran atas nafsu syahwat berkedok “firman Tuhan”. Misalnya permasalahan dominasi dalam surat An-Nisa ayat 34, ketika “ar-rijal” disebut lebih unggul daripada “an-nisa”. Ditambah dengan resonansi suntikan-suntikan praktik poligami. Ini menjadi keprihatinan umat yang melulu mengedepankan hal sekunder dalam beragama untuk mencari “laba” otoritas laki-laki atas perempuan.

Akan tetapi dari seluruh yang diperdebatkan di atas, ada beberapa titik yang terlewat untuk “diperhatikan”, yaitu orisinalitas wahyu ketika didistribusikan (baik verbal maupun teks) dari Tuhan kepada manusia. Apakah teks-teks al-Qur’an yang terkumpul menjadi “mushaf” itu benar-benar orisinal?

Sejenis keyakinan umat Muslim selama ini ialah al-Qur’an yang mereka baca mengandung keorisinalan, alias tidak berkaitan dengan unsur-unsur budaya Arab masa itu. Padahal mushaf yang kita baca setiap hari di pesantren, di masjid, di majelis ilmu, baru dibukukan pada masa Khalifah Utsman bin Affan, bukan pada masa Nabi Muhammad. Karena itu ada istilah “Mushaf Utsmani” (dibukukan pada 646 M/25 H). Apakah al-Qur’an benar-benar masih orisinal, dalam pengertian tidak ada muatan budaya Arab yang terselubung di dalamnya?

Al-Qur’an: Dari Serpihan hingga Mushaf

Pada masa Nabi Muhammad, mulanya ayat-ayat al-Qur’an tidak terkumpul menjadi satu mushaf (bundle), melainkan terpisah (scattered), tertulis di lempengan-lempengan batu, pelepah kurma, kulit kayu, pelana kuda, sampai tulang-tulang binatang. Setiap kali Nabi mendapat wahyu, beliau menyampaikan kepada para sahabat, dan mereka menghafalkannya secara perlahan. Di satu sisi ada juga sahabat yang “sering lupa”, sehingga mereka menulis ayat al-Qur’an sebagai antisipasi. Mereka dapat mengingat kembali dengan membaca yang pernah mereka tulis, tanpa harus bolak-balik mencari Nabi.

Sebagaimana yang diterangkan Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (810 M-870 M) dalam Sahih Bukhari, penghafal al-Qur’an pada masa Nabi ada tujuh orang, yaitu Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan, dan Abu Darda. Mereka itulah “Pendekar al-Qur’an” yang berhasil menghafal dan menampilkan seluruh isi al-Qur’an di hadapan Nabi.

Mushaf Utsmani disusun karena terdapat perbedaan cara (kaifiyah) membaca al-Qur’an antara penduduk Syam, Irak, dan sebagian umat Islam di Madinah. Saat mereka saling mendengar dan membaca al-Qur’an, seringkali mereka saling mengoreksi bacaan masing-masing. Fenomena ini terjadi karena pada awalnya, umat Muslim diperbolehkan untuk membaca al-Qur’an sesuai dengan dialek mereka masing-masing, yang dikenal sebagai tujuh bacaan (seven styles/qira’at as-sab’ah). Perkara ini yang kemudian mendorong pembentukan Mushaf Utsmani.

Sekiranya ada tujuh bacaan yang masyhur, yaitu Quraisy, Hudzail, Tamim, Kinanah, Saad bin Abi Bakar, Hawazin, dan Tsaqif. Menilik situasi demikian, Utsman bin Affan sebagai khalifah merasa perlu mengambil tindakan untuk menghentikan pertikaian yang muncul akibat perbedaan cara membaca al-Qur’an. Tujuannya agar umat bersatu kembali, tidak pecah oleh klaim qira’at. Oleh karena itu, ia membuat kebijakan untuk menyalin ulang al-Qur’an dengan menggunakan satu dialek, yaitu dialek Quraisy.

Mengapa dialek Quraisy yang dipilih sebagai standarisasi bacaan al-Qur’an? Sebab wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad adalah dialek Quraisy. Di sisi lain, di kalangan orang-orang Arab, suku Quraisy merupakan suku yang paling dihormati. Beserta dengan seluruh sumbangsihnya menjaga Ka’bah dan melayani jamaah-jamaah yang datang dari luar. tidak heran dialek Quraisy mendapatkan surplus nilai di kalangan suku-suku Arab.

Kira-kira satu tahun, sejak awal sampai akhir tahun 25 Hijriyah, al-Qur’an mengalami kodifikasi. Barulah pasca penyelesaian penyalinan al-Qur’an, Utsman bin Affan mengeluarkan sebuah kebijakan yang menghasilkan naskah-naskah standar dalam membaca al-Qur’an, yaitu Mushaf Utsmani.

Setelah itu, Mushaf Utsmani menjadi naskah resmi negara bagi umat Islam karena adanya standarisasi al-Qur’an. Keputusan ini dibuat berdasarkan kebijakan dari penguasa formal, yaitu Khalifah Utsman bin Affan. Dari sini tercipta satu bacaan standar al-Qur’an yang dibuat.

Wahyu dan al-Qur’an

Syeikh Abu Husain Ahmad bin Faris (941 M-1005 M) dalam Maqayis al-Lughah menerangkan kata “wahyu” berasal dari bahasa Arab: wa-ha-aya. Kata “wahyun” artinya isyarat, “al-wahya” berarti kitab sebagai petunjuk, “ar-risalah” adalah petunjuk selain wahyu. Singkatnya, wahyu memiliki dua pengertian. Pertama, membisikkan suatu pengertian (understanding) dalam hati sebagai isyarat. Kedua, wahyu yang disampaikan Malaikat Jibril melalui kata-kata.

Syeikh Ali as-Sabuni (1930 M-2021 M) dalam kitabnya at-Tibyan fi ‘Ulum al-Qur’an turut memberi definisi tentang wahyu atau kalam Allah:

تعريف القرآن: هو كلام الله المعجز, المنزل على خاتم الأنبياء والمرسلين بواسطة الأمين جبريل, المكتوب في المصحاف, المنقول إلينا بالتواتر, المتعبد بتلاوته, المبدوء بسورة الغاتحة,المختتم بسورة الناس

“Kalam Allah yang melemahkan, yang diturunkan kepada para Nabi dan Rasul terakhir melalui Jibril yang tertulis di dalam beberapa Mushaf, yang dipindahkan pada kita secara mutawatir, yang dinilai ibadah ketika membacanya, yang dimulai dari surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas.”

Sedangkan secara etimologis, “al-Qur’an” berasal dari bahasa Arab: qa-ra-‘a. Dalam ilmu gramatikal bahasa Arab (sharaf), kata “Qur’an” merupakan bentuk masdar (infinitif) dari qara’a – yaqra’u – qira’atan – qur’anan, artinya bacaan. Jadi al-Qur’an dalam tinjauan etimologi artinya sesuatu yang dibaca.

Mengaitkan dua pengertian yang telah dipaparkan di atas, berarti wahyu adalah frekuensi pesan Tuhan yang tereduksi menjadi kata-kata dan dikumpulkan menjadi sebuah Mushaf dan kemudian berfungsi untuk dibaca oleh umat Muslim.

Leave a Comment

0.0/5