Orisinalitas Wahyu yang “Terjajah” Budaya Arab
Secara fundamental, wahyu adalah pesan Tuhan yang tak berlafal alias tidak memiliki struktur kata-kata sebagaimana manusia mempunyai tatanan bahasa. Secara linguistik, prosesi penyampaian wahyu kepada Muhammad melalui dua sudut, yakni: (1) Tuhan sebagai komunikator aktif yang menyampaikan pesan, dan (2) Muhammad sebagai komunikan pasif yang menerima pesan. Sebagaimana yang telah diketahui, serpihan-serpihan teks al-Qur’an sebelum terkumpul menjadi sebuah “Mushaf”, tentu telah melewati beberapa pemilahan antardialek. Dan dialek Quraisy-lah yang terpilih sebagai dialek Mushaf Utsmani.
Namun sedikit ada permasalahan, secara linguistik, dalam prosesi penyampaian wahyu dari Tuhan kepada Muhammad. Tuhan berada dalam tingkatan (maqam) “esksistensi supranatural”, sementara itu Muhammad berada dalam “eksistensi natural”. Sebuah jarak yang cukup jauh antara Muhammad (dalam ruang mesokosmik/mumkin al-wujud) dan Tuhan (ruang metakosmik/gaib al-mutlaq). Syeikh Muhammad al-Fudhali dalam kitabnya Kifayat al-Awam juga menegaskan bahwa Tuhan memiliki keluhuran derajat yang tak tertandingi oleh para ciptaan-Nya:
فالله تعالى مخالف لكل مخلوق من إنس وجن وملك وغيرها فلا يصح اتصافه تعالى بأوصاف الحوادث من مشي وقعود وجوارح فهو تعالى منزه عن الجوارح من فم وعين وأذن وغيرها… فالله تعالى بخلافه تنزه الله تعالى عن جميع أوصاف الخلق
Cuplikan dari Syeikh al-Fudhali memperlihatkan ke-Mahaagung-an Tuhan betul-betul lepas dari seluruh instrumen yang terpolakan oleh manusia, tidak memiliki struktur baku dalam seluruh tatanan, bersih dari yang seluruh disifatkan. Meski begitu, Muhammad tetap dapat berdialog dengan Tuhan, sebab manusia dan Tuhan memiliki dua perangkat “sakral”, yakni nasut dan lahut. Maka problem komunikasi lintas wilayah (cross-dimension) antara Muhammad sebagai manusia dan Allah sebagai Tuhan dapat teratasi. Tentu tidak lepas dari percampuran-percampuran variabel ketuhanan dan kemanusiaan.
Pada koridor linguistik struktural, bahasa (language) tersusun dua format: langue dan parole. Sistem bahasa yang muncul dari interaksi unsur-unsur dalam masyarakat pengucap dan kemudian menjadi milik bersama dari masyarakat tersebut, ini disebut langue. Karena terdapat realitas sosial, maka ada dua hal yang saling berkorelasi dan berdialektika, yaitu: (1) sistem tanda bahasa dan (2) sistem sosial budaya. Sementara ucapan yang bersifat personal-individual (dipakai seseorang dalam berkomunikasi) dengan mengacu pada sistem bahasa tertentu, ini yang dinamakan parole.
Mushaf Utsmani yang bertumpu pada sistem bahasa Arab, tentu bersifat virtual dan tidak berasas pada kesadaran (awareness) individu. Artinya dalam Mushaf Utsmani terhimpun proyeksi atau sketsa budaya masyarakat Arab waktu itu. Oleh karenanya, relasi antara lafaz (penanda) dan makna (pertanda) tidak inheren pada dirinya, melainkan arbitrer. Relasi keduanya (lafaz dan makna) bertumpu pada masyarakat Arab sebagai sahib al-lughah, maka otomatis lafaznya ditentukan oleh konstruksi masyarakat Arab. Atas dasar inilah saya menaruh dugaan kuat ada muatan budaya di balik tatanan (behind the structure) bahasa Arab, baik verbal maupun teks.
Kemudian, dalam wacana Islam, bahasa Arab lebih diutamakan secara normatif daripada kreativitas pikiran. Dalam pandangan ini, makna bahasa dianggap sebagai makna yang telah ditentukan oleh Tuhan dan tidak dapat diterima makna lain yang muncul karena hubungan bahasa dengan referensi atau realitas acuan yang bersifat arbitrari. Akibatnya, kreasi para mujahid abad pertengahan didasarkan pada strukturalisme dan normativitas, dan dipandang sebagai pemikiran yang dianggap suci dan harus diikuti oleh seluruh umat Islam.
Perkara tersebut memberi sudut pandang bahwa bahasa bukan hanya digunakan sebagai alat untuk berkomunikasi dan berpikir, tetapi juga “membatasi”, mempengaruhi cara pandang, pemikiran penutur, serta penggunanya. Sistem bahasa, (termasuk kosakata, gramatika, dan semantiknya) memiliki pengaruh yang signifikan dalam cara pandang (perspective) penutur terhadap dunia, sekaligus cara mereka menguraikan informasi. Kelak pada gilirannya mempengaruhi cara dan metodologi berpikir mereka. Oleh karena itu, pemikiran Islam Arab yang menempatkan bahasa sebagai pusat keilmuan dan pandangan dunia, tidak dapat beradaptasi (rigid) dengan realitas sosial modern yang dinamis dan memiliki pluralitas yang kompleks.
Pola pikir sejenis itu mengakibatkan pemikiran Islam Arab yang berasas pada kitab suci al-Qur’an menjadi kaku dan strukturalistik. Ini memaksa umat Islam untuk memikirkan sesuatu secara obyektif dan strukturalistik, atau mengacu pada sumber asal pemikiran (source of thought). Semua orang harus bertumpu pada wacana masa lalu yang digagas oleh Nabi Muhammad, para sahabat, tabi’in, dan mujtahid. Dalam pandangan ini, merujuk pada pemikiran selain mereka dianggap tidak objektif dan tidak benar. Sejak saat itu, Mushaf Utsmani telah membatasi kebebasan berpikir dan menghambat kebebasan akal dalam memformulasikan pemikiran.
Epilog
Tanpa menafikan besarnya sumbangsih Khalifah Utsman bin Affan, dari seluruh analisis filosofis di atas, penting kiranya bagi pembaca untuk tidak terjebak hanya pada satu sudut pandang saja. Tentu kesempurnaan agama Islam yang dibawa dengan baik oleh Nabi Muhammad tidak diragukan lagi, dan wahyu yang Allah turunkan kepada umat manusia akan terus terpelihara. Menilik sepak terjang wahyu Tuhan selama ini yang berhasil melintasi berbagai dimensi dan realitas duniawi, menunjukkan adanya sinyal kekuatan sebagai suatu ke-orisinalitas-an.
Sejauh ini, tidak sedikit umat Muslim yang “ngotot” perlunya segala sesuatu hal dikembalikan kepada al-Qur’an dan sunnah tanpa memperhatikan lebih dalam perangkat yang mereka yakini sebagai “kebenaran mutlak”. Ketimpangan gender yang begitu marak oleh kalangan pemeluk agama juga turut memberi sentilan terhadap pembenaran-pembenaran atas nafsu syahwat yang berkedok “firman Tuhan”, tanpa meluruskan terlebih dahulu konteks dan muatan budaya di balik tatanan suatu bahasa.
Dengan i’tikad langkah antisipatif, tulisan ini mengupayakan agar umat Muslim tidak terjebak dengan dekapan budaya masyarakat Arab, yang bila kita tidak kritis, dapat terpeleset ke dalam jebakan kepalsuan. Islam memang bukan budaya Arab, namun kita juga harus jujur melihat bahwa selama prosesi turunnya wahyu Tuhan, tidak terlepas dari unsur-unsur budaya Arab.
Al-Qur’an diturunkan agar manusia secara profesional mampu seimbang atau proporsional dalam menempatkan segala sesuatu. Memilah-milah dengan baik dan jujur “apa yang seharusnya dilakukan”.
Penulis : Afda Muhammad
1 Comment