Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Sedekah Laut Di Rembang: Bergesernya Moralitas Adat Ke Materialisme Modern

Gambar 1. Pawai dalam Rangka Sedekah Laut di Rembang. Sumber: radarkudus.jawapos.com.

Merupakan sebuah keniscayaan tradisi kebudayaan terus berkembang seiring dengan perubahan zaman. Tak terkecuali Tradisi Sedekah Laut di Rembang yang memiliki antusias tinggi bagi masyarakat Rembang dan sekitarnya yang biasa dilakukan pada bulan Syawal. Berbeda dengan pandangan mayarakat nelayan Rembang dulu yang masih memegang pandangan kosmologi Jawa, yang memiliki keyakinan terhadap hubungan tak terpisahkan antara manusia sebagai jagad cilik (mikrokosmos) dan alam semesta sebagai jagad gede (makrokomos), yang menyangkut alam fisik maupun metafisik. Dalam pandangan ini seluruh perbuatan manusia terhadap alam semesta akan mendapatkan balasan dari alam semesta itu sendiri. Maka dari itu menjadi kewajiban manusia untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan alam semesta.

Atas dasar hal tersebut, dalam kesehariannya masyarakat nelayan Rembang menggantungkan hidupnya di laut dengan mencari ikan, maka tradisi Sedekah Laut ini merupakan bentuk ekspresi rasa syukur atas rezeki yang didapat. Juga merupakan bentuk sedekah dan penghormatan kepada makhluk hidup yang ada di laut. Selain itu, Sedekah Laut juga merupakan simbolisme adat yang mencerminkan hubungan antara jagad cilik dan jagad gede. Yang menurut Muhammaddian (2011) dalam tesisnya dengan judul Makna Simbol dalam Upacara Sedekah Laut di Desa Tasik Agung Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang merupakan simbol pengharapan agar mendapatkan hasil tangkapan ikan yang lebih melimpah dan untuk penolak bala. Dalam konteks lainnya Sedekah Laut juga merupakan tindakan moralitas adat yang dilaksanakan sebagai bentuk upaya membangun keberlanjutan lingkungan hidup. Maka dari itu jika tindakan manusianya merusak alam, maka alam akan mengalami penurunan kualitas yang juga akan berimbas pada manusianya itu sendiri. Sehingga dengan kesadaran penuh manusianya tidak akan bertindak serakah maupun mengeksploitasi alam dengan sembarangan.

Kini di era modern dengan etos materialismenya nampaknya sudah menjadi weltanschauung bagi masyarakat nelayan Rembang akhir-akhir ini. Mereka berpikir bahwa materi merupakan tolok ukur dari keberhasilan. Sehingga berimplikasi pada bergesernya nilai-nilai moralitas adat tradisi Sedekah Laut lebih kearah yang materialistis. Pada akhirnya pandangan masyarakat terhadap Sedekah Laut hanyalah sebagai sarana meraup kekayaan, hiburan, hingga popularitas belaka.

Momen yang sangat kentara dari etos materialisme Sedekah Laut di Rembang tercermin oleh beberapa ekspresi yang ditampilkan dalam rangkaian acaranya. Dari upacara tradisi larung sesaji yang awalanya dimaksudkan sebagai wujud syukur kini menjadi sarana adu kemewahan maupun gengsi antara desa-desa diwilayah pesisir Rembang yang ditunjukkan dengan perayaan arak-arakannya. Demikian juga pagelaran wayang dan ketoprak yang tidak lagi dilihat sebagai nilai estetika maupun unsur falsafah hidup masyarakat Jawa di dalamnya, kini hanya sebatas dianggap laku dipasaran saja.

Selain itu yang paling melekat pada rangkaian acara Sedekah Laut di Rembang adalah pertunjukan dangdutnya. Hampir setiap desa di Rembang dalam tradisi Sedekah Laut menghadirkan pertunjukan dangdut yang dianggap sebagai prestise di masyarakat yang dinilai dari kemewahan acara dan seberapa mahal acara tersebut. Sehingga budaya nyawer dangdut menjadi suatu yang bergengsi di masyarakat nelayan Rembang, semakin banyak nyawer maka semakin bergengsi di mata masyarakat. Bahkan sebagian masyarakat kurang mampu terkadang memaksakan diri untuk nyawer tanpa mempedulikan kondisi ekonominya.

Pada artikel jagodangdut yang berjudul Fantastis, Pria Ini Sawer Biduan dengan Banyak Uang Bikin Melongo menurut Sodiq New Monata sebagai seorang pedangdut menyebutkaan di daerah seperti Pati, Rembang, Madura dan lainnya sawerannya bisa dibilang cukup tinggi, bahkan dalam semalam saweran dapat mencapai 100 juta. Doktrin Descartes cogito ergo sum, nampaknya oleh masyarakat nelayan Rembang lebih pantas diplesetkan menjadi, ”Saya nyawer, maka saya ada.”. Tidak hanya itu, kuatnya arus modernisme membentuk imajinasi konsumtif yang berorientasi pada kepuasan. Bahkan mengkonsumsi telah menjadi gaya hidup maupun status sosial sehingga oleh sebagian masyarakat Rembang menganggap sedakah laut sebagai ajang untuk berbelanja. Hal ini ditunjukkan dari data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Rembang sejak pasca lebaran sampai Minggu 8 Mei 2022 diperkirakan ada 170-an pedagang dan tercatat ada 12 ribu lebih wisatawan berkunjung ke TRP Kartini yang dipusatkan sebagai lokasi perbelanjaan dan rekreasi, hingga diperkirakan 25 milyar uang yang bergerak di wilayah Rembang pada acara Sedekah Laut yang bertepatan dengan tradisi Syawalan ini.

Maka dari itu diperlukannya upaya untuk mengembalikan nilai-nilai moralitas adat dalam tradisi Sedekah laut di Rembang ini dari etos materialisme modern yang akan menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan sosial masyarakat. Apabila Sedekah Laut yang syarat akan nilai spiritualisme hanya diobsesikan sebagai tempat pelarian dari ekses materialisme modern, maka tak ayal tradisi Sedekah Laut akan ditinggalkan. Bahkan hilangnya tradisi Sedekah Laut itu sendiri. Jika perlu pihak berwenang harus melakukan rekonstruksi ulang dan mensosialisasikan kembali sejarah maupun nilai-nilai yang yang terkandung dalam tradisi Sedekah Laut seperti khittahnya.

Penulis: Ahmad Zidan S.

Leave a Comment