Oleh : Ahmad Zidan Muzakki
Di era post truth, kebenaran dan kebohongan menjadi samar-samar dibedakan. Justru kebohongan dapat menyamar menjadi kebenaran, yang kemudian kebenaran dinomorduakan. Fenomena post truth ini merupakan keadaan publik di mana mereka tidak lagi mempercayai kebenaran-kebenaran berdasarkan fakta, namun didasarkan pada kepercayaan dan perasaan emosional belaka—berkaitan dengan agama, ras, etnis, dan kepentingan tertentu. Sederhananya publik lebih cenderung mencari pembenaran dari pada kebenaran.
Fenomena post truth ini dapat dengan mudah ditemukan di media sosial. Dari facebook, instragam, twitter, youtube, hingga whatsapp. Dengan media sosial, seseorang seperti hidup dalam simulacra—meminjam istilah Jean Baudrillard—dengan menganggap media sosial sebagai realitas sebenarnya menggantikan realitas dalam kehidupan nyata. Sesorang akan berusaha melakukan apapun demi membentuk identitas akun-akunnya dalam media sosial. Ia dapat saja tampil sebagai sosok siapapun dan menjadi apapun yang diinginkan untuk ditunjukkan kepada publik di media sosial. Seperti para pejabat yang suka pamer di media sosial dengan barang-barang branded ataupun pelesiran ke luar negeri. Itu semua dilakukan untuk membentuk dan menciptakan identitas diri dalam simulacra, yang kemudian identitas diri tidak lagi ditentukan dalam realitas yang nyata.
Lebih lanjut, dalam simulacra, secara terus menerus seseorang akan menciptakan hiperrealitas, di mana realitas dalam simulacra tidak benar-benar merepresentasikan realitas yang nyata, tetapi membentuk dan menciptakan realitas-realitas baru berturut-turut. Seperti dari seseorang membentuk dan menciptakan identitas diri dalam simulacra, kemudian orang lain terobsesi meniru identitas diri dari sesorang tersebut, hingga orang lain lagi meniru orang lain yang terobsesi meniru identitas diri dari sesorang. Dengan begitu akan menciptakan identitas-identitas yang benar-benar tidak ada sama sekali dalam realitas yang nyata. Seperti dari sosok pejabat, berturut-turut, hingga menjadi sosok spiderman. Karena sosok spiderman benar-benar tidak ada sama sekali dalam realitas yang nyata. Begitu juga dalam unggahan-unggahan di media sosial. Ketika orang beropini di media sosial, kemudian orang lain mempercayainya begitu saja dan dianggap sebagai fakta, hingga orang lain lagi menganggapnya sebagai representasi dari realitas yang nyata. Hiperrealitas dalam media sosial inilah yang dapat mempengaruhi kesadaran publik, yaitu kesadaran yang tidak ada hubungannya dengan realitas dalam kehidupan nyata, namun dianggap sebagai realitas sebenarnya. Di sinilah fenomena post truth dapat dengan mudah ditemukan, melihat kebenaran menjadi abu-abu, antara kebenaran dengan kebohongan bercampuraduk dan sulit dibedakan.
Selain itu, fenomena post truth ini juga dapat dengan mudah ditemukan dalam dunia politik. Di era post truth mereka akan lebih memilih menggunakan daya tarik secara emosional dengan mengangkat isu-isu politik identitas, terutama ras, agama, dan etnis untuk mendapatkan dukungan dari publik. Di sini kebenaran tidak lagi dibangun berdasarkan fakta, tetapi berdasarkan keterkaitan secara emosional. Lebih lanjut, kebenaran akan menjadi akal-akalan yang dibuat-buat menjadi sesuatu yang dianggap benar.
Dengan media sosial, fenomena post truth dalam politik ini menjadi sangat masif. Para politikus akan mengangkat isu-isu viral yang seolah-olah berpihak pada kepentingan publik. Misalnya membuat janji-janji dan gagasan-gagasan politik yang dibangun berdasarkan bujuk rayuan saja tanpa mempertimbangkan dengan analisis secara mendalam, yang kemudian publik mempercayai begitu saja karena sesuai dengan kepercayaan dan perasaan emosionalnya. Antara fakta, berita, opini, dengan kebohongan, pencitraan, dan kepentingan bercampuraduk dan sulit dibedakan. Dengan media sosial yang secara terus menerus menebarkan informasi, kebohongan pun dapat menyamar menjadi kebenaran. Berita-berita hoaks yang yang tersebar dalam media sosial perlahan-lahan akan membentuk kesadaran kolektif publik.
Akibatnya publik akan terjebak dalam narasi-narasi politik, yang dapat memicu publik untuk saling menyerang dan menyudutkan kelompok yang berbeda identitas dan pilihan politik. Ditambah lagi media sosial dengan algoritmanya, akan menampilkan konten-konten yang disukai, yang diminati, yang sesuai dengan kepercayaan atau perasaan emosional penggunannya. Hal ini justru akan menyebabkan seseorang terjebak dalam echo chamber, di mana seseorang akan masuk dalam lingkaran informasi-informasi yang sesuai dengan pandangannya sendiri. Sehingga seseorang hanya akan menerima kebenaran dari kelompoknya sendiri dan cenderung menolak pandangan dari kelompok lain. Di sinilah seseorang akan terkungkung dalam sekat-sekat kultural. Kebenaran hanya milik agamanya, rasnya, etnisnya dan kepentingan-kepentingannya. Alih-alih kelompok lain menyebarkan informasi-informasi, yang justru merupakan kebenaran yang sebenarnya, mereka akan mendapatkan ujaran kebencian, hinaan, hingga celaan. Secara tidak langsung, fenomena post truth ini akan mengakibatkan publik takut menyampaikan kebenaran yang sebenar-benarnya.
Lebih lanjut, tradisi Malamatiyyah dapat menjadi jalan alternatif untuk menata ulang cara pandang publik terhadap fenomena-fenomena post truth ini.
Tradisi Malamatiyyah
Dalam Risalah Malamatiyyah, disebutkan bahwa Abu Hafsh Al-Haddad merupakan pendiri dari Tarekat Malamatiyah bersama dengan tokoh sufi yang lainnya, seperti Hamdun Al-Qashr (w. 271 H) dan Abu Utsman Al-Hirri. Tradisi Malamatiyah ini berkembang pada abad abad ke-3 Hijriyyah. Sebenarnya benih-benih tradisi Malamatiyah awalnya dibawa oleh Ibrahim bin Adham. Kemudian setelah perkembangannya, tradisi Malamatiyyah kentara dibawakan oleh tokoh sufi Khurasan, seperti Abu Turab Al-Nakhsyabi (w. 245 H), Khadhrawaih dan Abu Yazid Al-Bustami, yang di antara mereka menjalin hubungan persahabatan yang baik dengan Abu Hafsh. Namun dalam perkembangan tiga tokoh tersebut, tradisi Malamatiyyah masih dalam tahap kecenderungan-kecenderungan karena mereka masih memiliki perbedaan dalam sikap. Baru kemudian di bawah Abu Hafsh, Hamdun Al-Qashr dan Abu Utsman Al-Hirri, tradisi Malamatiyyah menunjukkan kemapanannya dalam membawakan ajaran-ajaran Malamatiyah.
Tarekat Malamatiyyah sendiri dikenal memiliki ajaran-ajaran tertentu dengan penderitaan dari celaan atau hinaan sebagai suatu cara untuk menjauhkan diri dari sifat-sifat buruk dalam diri manusia. Para penempuh jalan Malamatiyah mendorong diri untuk siap menerima celaan ataupun penderitaan. Mereka tidak akan memedulikan celaan atau hinaan orang lain terhadap dirinya.
Selain itu, para penempuh jalan Malamatiyyah akan melakukan sesuatu dengan sengaja agar orang lain merendahkannya (Thalab Al-Malamah) dalam keadaan ketika orang banyak memberikan penghormatan terhadapnya. Hal itu dilakukan semata-mata untuk menghindarkan diri dari sifat membanggakan diri selama tidak melanggar hukum. Karena bagi tarekat Malamatiyyah, manusia akan menurunkan derajatnya ketika ia membanggakan kehendak dirinya sendiri. Lebih lanjut, membanggakan kehendak dirinya sendiri dianggap sebagai nafsu yang harus selalu diperangi.
Tarekat Malamatiyyah menganggap Allah sebagai suatu Yang Mutlak. Selain Yang Mutlak, bersifat sementara, termasuk nafsu manusia. Sehingga nafsu harus selalu diperangi karena dianggap sebagai suatu kesadaran yang dapat membawa manusia menyadari akan identitas dirinya sendiri. Pengakuan terhadap dirinya sendiri tidak memiliki tempat bagi para penempuh jalan Malamatiyyah. Karena segala sesuatu yang berkaitan dengan nafsu dianggap sebagai sesuatu yang dapat mebawa manusia menuju perbuatan pamer.
Tarekat Malamatiyyah menolak identitas-identitas tertentu. Karena identitas-identitas tersebut merupakan suatu perbuatan yang berusaha untuk menampakkan diri atau pengakuan di hadapan orang lain. Para penempuh jalan Malamatiyah tidak memiliki tanda-tanda tertentu dan dilarang untuk melakukan pengakuan-pengakuan dalam pencapaian apapun, baik yang sifatnya lahiriah maupun batiniyah.
Dalam hubungannya dengan orang yang lain, para penempuh jalan Malamatiyyah meniatkan diri untuk selalu khidmah dan ikhlas. Sehingga mereka akan mengabaikan kesalahan-kesalahan orang yang lain dan senantiasa mengingat kesalahan-kesalahan diri. Mereka juga akan melibatkan diri di masyarakat dalam setiap aktivitas sehari-hari tanpa membedakan diri dengan yang lainnya.
Menembus Identitas Diri dan Sekat-Sekat Kultural
Di era post truth, orang dapat dengan mudah menemukan upaya-upaya di media sosial untuk membentuk identitas diri. Seperti fenomena flexing di media sosial dengan barang-barang branded ataupun pelesiran ke luar negeri dan yang lainnya. Atau maraknya berita hoaks yang dilakukan demi kepentingan-kepentingan kelompok tertentu dan ujaran-ujaran kebencian karena seseorang terkungkung dalam sekat-sekat kultural yang bermunculan di media sosial.
Dengan tradisi Malamatiyyah, yang diajarkan dalam tarekat Malamatiyyah, para penempuh jalan Malamatiyyah akan memiliki sikap dalam menghadapi fenomena-fenomena post truth ini. Di tengah hingar-bingar media sosial yang dipenuhi dengan upaya-upaya untuk membentuk identitas diri dengan pamer ataupun dengan kepentingan tertentu untuk mendapatkan pengakuan dari orang lain atau sekadar ingin viral, para penempuh jalan Malamatiyyah justru akan menempatkan diri dalam media sosial sebagai apa adanya, tanpa berupaya untuk membentuk atau menciptakan identitas-identitas tertentu. Dengan itu, mereka tidak akan membedakan orang satu dengan yang lainnya dalam melibatkan dirinya di media sosial.
Di sisi lain, dengan maraknya berita hoaks di media sosial yang dilakukan demi kepentingan-kepentingan tertentu, para penempuh jalan Malamatiyyah tidak akan menilai hoax sebagai kesalahan-kesalahan dari orang lain. Dari pada itu, mereka akan menempatkan diri untuk memeriksa berita hoaks sesuai dengan kejadian yang sesungguhnya dengan meniatkan diri untuk selalu khidmah dan ikhlaskepada orang lain. Karena tak jarang orang melakukan klik secara sengaja maupun tidak sengaja di tengah laju informasi di media sosial yang bergerak secara cepat. Dengan itu, orang dapat menyebarkan hoaks tanpa sengaja, dalam ketidaktahuan, dan tanpa lebih dulu memahami informasi.
Selain itu, berita hoaks di media sosial yang dilakukan demi kepentingan-kepentingan tertentu ini dapat memicu ujaran-ujaran kebencian. Tak jarang ujaran-ujaran kebencian ini dikarenakan seseorang terkungkung dalam sekat-sekat kultural, yang dapat memicu publik untuk saling menyerang dan menyudutkan kelompok yang berbeda identitas darinya. Alih-alih akan mengungkapkan kebenaran dari berita hoax, yang kemudian disebarkan kembali di media sosial, seseorang akan mendapatkan ujaran kebencian, hinaan, hingga celaan. Dan hal itu mengakibatkan publik takut menyampaikan kebenaran yang sebenar-benarnya. Justru para penempuh jalan Malamatiyyah akan melakukan dengan tanpa takut menyampaikan kebenaran yang sebenar-benarnya agar mendapatkan ujaran kebencian, hinaan, hingga celaan.
Para penempuh jalan Malamatiyyah di era post truth akan melibatkan diri di masyarakat dalam setiap aktivitas sehari-hari tanpa membedakan diri dengan yang lainnya. Mereka menolak identitas-identitas tertentu yang disematkan kepadanya agar dapat menembus identitas diri dan menganggap Allah sebagai Yang Mutlak. Dengan itu, mereka dapat menembus sekat-kultural tanpa terkungkung olehnya. Tabikkk!
Editor : Ahmad Zamzama NH.