Oleh: Ahmad Zidan Muzakki
Di Krapyak, saya sering kali mendengarkan asmaul husna dilantunkan secara tertib dan urut-urut dengan bahasa Arab dari Ya Rahman, Ya Rahim, sampai Ya Shabur. Ataupun di tempat lain yang saya temukan juga seperti itu, jumlahnya sembilan-sembilan, namun dengan nada yang berbeda. Apa yang saya dengarkan tersebut membuat saya bertanya-tanya apakah maksud dilantunkannya asmaul husna secara tertib dan urut-urut?
Kata kawan saya, melantunkan asmaul husna dimaksudkan untuk menyapa atau taqarrub kepada Tuhan. Di Krapyak, misalnya, asmaul husna dilantunkan sebelum memulai ngaji. Di Sekolahan saya dulu juga sama, melantunkan asmaul husna sebelum memulai pelajaran.
Namun dengan mendengarkan atau melantunkan asmaul husna sendiri, justru saya tidak merasa menyapa Tuhan. Yang saya rasakan hanyalah urut-urutan nama yang maknanya baik semua, yang tak jarang juga saya merasa ngantuk mendengarkannya. Melihat fenomena itu, dengan mengira-ngira, saya berkesimpulan bahwa asmaul husna dilantunkan hanya sekedar formalitas belaka, seperti halnya bunyi bel yang menandakan aktivitas segera dimulai agar santri ataupun siswa segera masuk mushola atau kelas masing-masing.
Di sisi lain saya menemukan asmaul husna dalam bentuk kaligrafi-kaligrafi dengan lafadz arab yang menempel di dinding rumah yang pernah saya kunjungi. Bentuknya bermacam-macam, dari asmaul husna bentuk tabel kotak-kotak dalam stiker dinding hingga asmaul husna bentuk semar—tokoh wayang—di kulit kambing.
Sama saja, asmaul husna yang berjumlah sembilan-sembilan ditulis secara tertib dan urut-urut, baik dari kanan ke kiri atau dari atas ke bawah. Melihat fenomena itu, dengan mengira-ngira kedua kalinya, saya berkesimpulan bahwa asmaul husna dimaksudkan sebagai penghias ruangan atau sekedar untuk memenuhi dinding yang masih kosong.
Yang lebih mengherankan lagi, saya juga menemukan potongan-potongan asmaul husna yang dilipat dalam dompet kawan, di pojokan pintu, ataupun di bawah genteng ketika roan pondok. Bahkan ketika Muharroman di Krapyak dalam event mini soccer, saya melihat sebuah rompi hitam dengan lukisan kaligrafi yang dipakai seorang santri. Saat itu, ia membuka bajunya, seolah-olah menantang puluhan suporter yang sedang melakukan psywar padanya, dan memperlihatkan rompi yang membuat saya penasaran itu. Akhirnya saya mencari di google dengan mengetik ‘rompi hitam kaligrafi arab’. Hasilnya menampilkan rajah ontokusumo yang dijual di shopee bersama tasbih dan jimat-jimat lainnya.
Sama juga ada tulisan kaligrafi asmaul husna berbentuk macan yang katanya memiliki khodam macan sebagai penjaganya. Melihat fenomena itu, kali ini saya bertanya kepada kawan, kemudian ia berceletuk, “itu kata orang-orang biar jaduk, kalau yang di dompet buat pelaris, kalau yang di balik genteng biar rumah nggak kemalingan atau biar nggak bisa disantet”.
Dengan melihat fenomena begitu berserakannya asmaul husna di mana-mana, berceceran di mana-mana, apakah benar itu yang dikatakan sebagai Tuhan begitu dekat dengan kita, bahkan lebih dekat dari urat nadi kita sendiri? Gumam saya, jika saja itu dibenarkan, saya cuma perlu membeli tasbih asmaul husna agar Tuhan bisa bersentuhan langsung dengan urat nadi saya sendiri. Sangat menyakitkan memang ketika pernyataan seperti itu dibenarkan, namun apa boleh buat, toh fenomena itu begitu umum di Indonesia.
Di luar fenomena-fenomena itu, ada sesuatu yang menarik pada kehidupan orang jawa dalam menyebut nama Tuhannya. Sebagian orang Jawa menyebut-Nya sebagai Gusti atau Pengeran. Misalnya ungkapan “Gusti mboten sare”, yang berarti “Tuhan tidak tidur”. Tentunya ungkapan ini memiliki makna yang amat mendalam. Lebih kurang maknanya Tuhan tidak pernah beristirahat dengan kuasa-Nya dan Tuhan mengetahui segala sesuatu yang terjadi di dunia ini. Ungkapan lain misalnya, Pengeran iku sangkan paraning dumadi (Tuhan itu asal munculnya makhluk serta tempat terakhir kembalinya makhluk), yang pastinya juga memiliki makna yang amat mendalam.
Ungkapan itu tergambarkan ketika saya membeli jagung bakar di suatu Kampung Ramadan sekitar Krapyak. Waktu itu menjelang Maghrib, hujan mengguyur Krapyak dan sekitarnya. Dalam keadaan hujan, banyak pedagang-pedang yang masih menjajakan dagangannya, termasuk bapak penjual jagung. Merasa perlu berbuka puasa, segera saya membeli jagung bakar untuk mengisi perut.
“Jagung satu, Pak,” kata saya.
”Mau manis, gurih, pedas?” Bapak itu tersenyum.
“Pedas aja, Pak,” pinta saya.
Segera Bapak itu menyiapkan tungku pembakarannya. Hujan masih mengguyur deras, dengan tangan kiri bapak mengipas-ngipas dan tangan kanan mengolesi bumbu pedas. Basa-basi saya bertanya, “beberapa hari ini hujan terus tetep banyak yang jualan ya Pak?”
Bapak pun menjawab, ”iya Mas, tapi ya gak papa, wong hujan juga berkah buat petani.” Sedikit jeda, bapak itu melanjutkan, “tenang aja Mas, wong rezeki sudah ada yang ngatur, Gusti mboten sare”.
Begitu takjub saya mendengar jawaban bapak itu. Sebuah keteguhan hati untuk terus berjualan di tengah hujan dan kepasrahan hati untuk menerima apa yang menjadi kehendak-Nya. Nama Tuhan benar-benar begitu menjiwai dalam kehidupan bapak itu. Justru dengan melihat kejadian itu, saya merasa diingatkan untuk kembali untuk menghayati keberadaan Tuhan pada hal-hal kecil, tanpa terkecuali asmaul husna yang dilantunkan sebelum ngaji.
Selain itu, tidak hanya pada kehidupan orang Jawa, ternyata di lain tempat juga sama, bahwa nama Tuhan banyak di luar sembilan-sembilan asmaul husna. Contohnya, sebutan Dewata Sewwae bagi masyarakat suku Bugis, Puang Matua bagi masyarakat suku Toraja, maupun suku Dayak Tunjung yang menghayati keberadaan Tuhan dengan sebutan Latala.
Berbeda dengan para santri yang secara formalitas melantunkan asmaul husna, mereka lebih menghadirkan dan menghayati keberadaan Tuhan yang menjiwai dalam kehidupannya. Begitu pula sebutan nama-nama Tuhan di luar asmaul husna tidak mengurangi nilai-nilai keagungan dari Tuhan sendiri. Sama seperti begitu berserakannya asmaul husna dimana-mana, nama-nama Tuhan juga “berserakan” di luar asmaul husna.
Adanya fenomena-fenomena nama-nama Tuhan yang “berserakan” di luar asmaul husna tersebut menegaskan bahwa di balik tradisi-tradisi formalistik-mainstream yang begitu mendominasi di kalangan masyarakat, terdapat tradisi-tradisi terpinggirkan yang keberadaannya kurang diketahui banyak orang tetapi memiliki keunggulan-keunggulan nilai tersendiri. Bagaimanapun, tradisi-tradisi terpinggirkan begitu menyayangkan untuk tidak dibahas lebih lanjut.
Tradisi-Tradisi Pinggiran
Tradisi-tradisi pinggiran sungguh seperti tidak mendapatkan tempat dalam sejarah. Tempat mereka sebagian besar hanya berupa kenangan-kenangan atau ingatan kolektif pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang selama ini cenderung terabaikan. Pada umumnya, tradisi pinggiran merupakan tradisi yang tersisih, tersembunyi, termarjinalisasi, dan tertindas dari tradisi-tradisi formalistik-mainstream yang mendominasi di kalangan masyarakat.
Tradisi-tradisi formalistik-mainstream ini biasanya lahir dari suatu hegemoni dalam masyarakat. Pengaruh hegemoni dalam masyarakat ini mencakup aspek dominasi, kepemimpinan, dan kekuasaan. Sehingga hegemoni dalam masyarakat dapat menjadi semacam “sopir” yang dapat memainkan peranan penting dalam mengemudikan tatanan sosio-kultur masyarakat. Dalam menjalankan pengaruhnya, hegemoni dalam masyarakat akan menciptakan suatu tradisi yang bersifat formalistik-mainstream melalui kekuatan dominasi kekuasaannya.
Lebih lanjut tradisi-tradisi formalistik-mainstream akan menjadi semacam status quo di masyarakat. Dan adanya status quo di masyarakat akan menciptakan vis a vis antara tradisi-tradisi formalistik-mainstream dengan tradisi-tradisi pinggiran. Pada tahap ini tradisi-tradisi pinggiran kurang memiliki keleluasaan dalam tatanan sosio-kultur masyarakat. Bahkan bisa jadi menjadi sasaran penindasan dari tradisi-tradisi formalistik-mainstream.
Di sisi lain, meski menjadi sasaran penindasan yang akan menjadikannya semakin termarjinalkan, tradisi-tradisi pinggiran akan menjadi counter culture dari tradisi-tradisi formalistik-mainstream. Mereka akan bereaksi terhadap aturan-aturan umum yang tercipta dari tradisi-tradisi formalistik-mainstream. Baik menghimpun gerakan semacam grass roots bersama kelompok-kelompok yang sepaham, ataupun melakukan perlawanan secara terang-terangan.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar dalam melawan hegemoni tradisi-tradisi formalistik-mainstream yang dimonopoli oleh kalangan Kerajaan Demak, dengan Wali Songo sebagai staf khususnya. Pada masa itu, tradisi-tradisi formalistik-mainstream memegang status quo dari nilai-nilai yang dianut masyarakat wilayah kerajaan. Nilai-nilai tersebut diantaranya menganggap raja sebagai utusan langsung dari Tuhan yang memiliki hak-hak mutlak atas wilayah kekuasaannya. Di bawah kekuasaan raja, masyarakat tidak boleh menggunakan kata ingsun sebagai kata ganti diri. Kata ingsun hanya khusus digunakan oleh raja, sedangkan masyarakat dibawah kekuasan raja menggunakan kata kawulo yang artinya hamba.
Melihat fenomena ini, Syekh Siti Jenar menolak adanya perbedaan yang terpaku pada kasta-kasta tertentu. Syekh Siti Jenar mengajarkan bahwa setiap manusia memiliki kedudukan sederajat dan memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai kedekatan dengan Tuhan. Bahkan, menurutnya, manusia dapat menyatu dengan Tuhan, yang dikembangkan dengan konsep manunggaling kawula Gusti. Sama seperti halnya berserakannya nama-nama Tuhan di luar asmaul husna, Syekh Siti Jenar tidak pernah mempersoalkan penyebutan tertentu pada nama-nama Tuhan. Menurutnya penyebutan nama-nama Tuhan merupakan pengalaman mistik pribadi, yang setiap orang memiliki perasaan-perasaan tersendiri dalam menghadirkan Tuhan yang menjiwai pada kehidupannya.
Atas dasar itu, Syekh Siti Jenar menentang tradisi-tradisi formalistik-mainstream itu dengan menyatakan bahwa masyarakat boleh menggunakan kata ingsun sebagai kata ganti diri. Dengan itu, ajaran Syekh Siti Jenar mulai banyak diterima masyarakat pinggiran yang masih terpaku pada kasta. Lebih lanjut, kelompok grass roots penganut ajaran Syekh Siti Jenar yang tersebar di wilayah pedalaman Jawa, sebagai representasi pelaku tradisi-tradisi pinggiran, mulai melawan dominasi tradisi-tradisi formalistik-mainstream kalangan kerajaaan secara terang-terangan.
Akibatnya Syekh Siti Jenar dianggap sesat, karena telah menyimpang dari tradisi-tradisi formalistik-mainstream yang sudah dianggap sebagai kebenaran-kebenaran umum. Lebih lanjut, konon Syekh Siti Jenar dihukum mati. Pada akhirnya ajaran-ajaran Syekh Siti Jenar dilarang, hingga membuat representasi dari tradisi-tradisi pinggiran semakin terpinggirkan, termarjinalkan, bahkan sasaran penindasan.
Bagaimanapun meski kurang diperhatikan, tradisi-tradisi pinggiran dalam sejarah akan selalu mengiringi dominasi tradisi-tradisi formalistik-mainstream. Dengan kreativitas resistensi, tradisi-tradisi pinggiran memiliki nilai-nilai yang patut dipertimbangkan eksistensinya. Dan sebaliknya kita perlu sikap kritis terhadap tradisi-tradisi formalistik-mainstream yang memiliki bias-bias kepentingan tertentu. Demikian pula seperti tradisi-tradisi pinggiran Mbah Mutamakkin yang berhadapan vis a vis dengan tradisi-tradisi formalistik-mainstream Katib Anom dari kerajaan Kartasura, hingga para petani yang berhadapan vis a vis dengan kebijakan negara saat ini. Tabikkk!
Editor : Ahmad Zamzama NH.
1 Comment