Oleh : Ahmad Zidan Muzakki
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Pidato pamungkas Bung Karno itu cocok digunakan untuk mempertimbangkan tradisi-tradisi pinggiran dalam wacana kesejarahan dan jangan sampai meninggalkan sejarahnya. Karena tradisi-tradisi pinggiran tidak hanya terpinggirkan dalam tatanan sosio-kultural saja, lebih dari itu mereka juga terpinggirkan dalam wacana kesejarahan. Tempat mereka sebagian besar hanya berupa kenangan-kenangan atau ingatan kolektif pada kelompok-kelompok masyarakat tertentu yang selama ini terpinggirkan. Kalaupun tradisi-tradisi pinggiran muncul dalam narasi sejarah, mereka hanya dalam konteks terselip dalam narasi sejarah arus utama.
Dari pada ditinggalkan sama sekali, bagaimanapun tradisi-tradisi pinggiran memiliki peran penting untuk memberikan perspektif baru dalam membaca narasi sejarah. Mereka dapat menjadi subjek sejarah dan juga menjadi sebuah acuan untuk memposisikan peristiwa-peristiwa sejarah secara adil dan proporsional. Lebih lanjut kajian tentang tradisi-tradisi pinggiran ini bisa ditelusuri dalam “subaltern studies”.
Istilah “subaltern” didasarkan pada pemikiran Antonio Gramsci dalam konsep hegemoni. Hegemoni menurut Gramsci merupakan tatanan sosio-kultural kelompok dominan dalam masyarakat untuk mempengaruhi kelompok-kelompok lain. Pengaruh hegemoni dalam masyarakat ini mencakup aspek dominasi, kepemimpinan, dan kekuasaan. Dalam menjalankan pengaruhnya, hegemoni akan mengarahkan kelompok-kelompok masyarakat untuk menerima nilai-nilai yang diciptakan ataupun masuk ke dalam tradisi yang hegemonik. Sehingga hegemoni dapat mengontrol dan mengendalikan tatanan sosio-kultur masyarakat.
Melalui dominasi, kepemimpinan, dan kekuasaan, hegemoni akan berupaya menciptakan budaya dengan bias-bias kepentingan kelompok dominan yang tersebar di masyarakat. Lebih lanjut kelompok-kelompok lain yang berada diluar kelompok dominan, secara tidak langsung akan menerima budaya tersebut, yang kemudian menjadi semacam status quo di masyarakat. Dengan itu, akan tercipta tradisi-tradisi formalistik-mainstream yang merepresentasikan kepentingan hegemoni untuk mempertahankan dominasinya di masyarakat.
Dengan tradisi-tradisi formalistik-mainstream inilah nilai-nilai yang diciptakan hegemoni menjadi common sense dalam masyarakat. Sehingga tradisi-tradisi lain yang berada di luar tradisi-tradisi formalistik-mainstream dianggap sebagai sesuatu yang menyimpang dari nilai-nilai umum dalam masyarakat. Pada tahap ini, muncul tradisi-tradisi pinggiran yang membedakannya dengan tradisi-tradisi formalistik-mainstream. Tradisi-tradisi pinggiran menjadi sasaran dominasi dan penindasan karena mereka di luar tradisi-tradisi formalistik-mainstream yang hegemonik.
Tradisi-tradisi pinggiran cenderung tidak berdaya dan terpinggirkan. Dan mereka tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan diri dalam masyarakat. Kebebasan mereka dibatasi dalam kendali hegemoni, bahkan mereka tidak dapat bersuara atas nama dirinya sendiri. Alih-alih bersuara, mereka akan mendapatkan kekerasan, penindasan, bahkan sasaran eksploitasi. Dalam tradisi tradisi-tradisi pinggiran inilah istilah subaltern merujuk pada individu-individu atau kelompok yang terpinggirkan, tertindas, dan termarjinalisasi oleh dominasi yang hegemonik.
Secara umum, subaltern identik dengan wong cilik, arus bawah, rakyat jelata, proletar, ataupun mustadh’afin. Hidup pas-pasan, tanpa daya, yang bisa ditendang kesana kemari tanpa ada yang membela merupakan gambaran yang pas untuk kaum subaltern. Kalaupun ada yang membela mereka, itu masih mengandung bias-bias kepentingan tertentu.
Bagi Gayatri Spivak, kaum subaltern tidak dapat menyuarakan dirinya sendiri karena mereka terbatasi kemampuannya untuk menyuarakan dirinya. Adapun suara-suara mereka yang tersebar dalam gaung-gaung masyarakat merupakan suara-suara yang seolah-olah sebagai representasi kepentingan kaum subaltern, namun nyatanya hanyalah kepentingan dominasi yang hegemonik, termasuk kaum intelektual dan politikus yang ada di dalamnya.
Menurut Spivak, kaum intelektual tidak benar-benar merepresentasikan suara-suara kaum subaltern. Karena ada jurang pemisah antara kaum intelektual dengan kaum subaltern. Di sini kaum intelektual hanya ingin mengetahui pengalaman-pengalaman kaum subaltern sebagai objek pengetahuan saja, namun tidak ingin merasakan pengalaman-pengalaman kaum subaltern dalam penguatan dominasi. Ditambah lagi, kaum intelektual memiliki kepentingan akademisi, yang tak jarang mereka di bawah penguasaan dominasi yang hegemonik, yang kemudian menjadi kebenaran kaum subaltern merupakan kebenaran yang direpresentasikan oleh kaum intelektual.
Sama halnya dengan politikus, ia tidak benar-benar merepresentasikan kepentingan kaum subaltern, justru menggunakan kaum subaltern sebagai alat untuk meraup suara ataupun memperkuat dominasi kekuasaannya. Kepentingan kaum intelektual dan politikus terhadap kaum subaltern dianggap tidak lebih hanyalah kepentingan uang, kuasa, maupun gelar. Tetap saja suara-suara nyata penderitaan kaum subaltern tidak dapat didengarkan. Di tangan kaum intelektual dan politikus yang merupakan bagian dari dominasi yang hegemonik, narasi sejarah tentang kaum subaltern dapat menjadi bias, tidak lengkap, dan tidak jelas. Namun itulah yang dianggap benar oleh masyarakat.
History has been written by the victors. Sejarah ditulis oleh para pemenang. Kata ini nampak tepat menggambarkan peran dominasi yang hegemonik dalam mengendalikan, memanipulasi, menyembunyikan, dan mengaburkan sejarah. Sehingga historiografi yang hegemonik tidak pernah memperhatikan keberadaan subaltern yang sebenarnya dalam sejarah. Jika kaum intelektual benar-benar ingin merepresentasikan kaum subaltern dan menyatakan bahwa subaltern tidak dapat menyuarakan dirinya sendiri, dengan syarat mereka harus menyelami, meresapi, dan mendalami pengalaman-pengalaman dan latar belakang yang menjadi jejak-jejak ketertindasan kaum subaltern.
Kaum intelektual di sini yang dimaksud, menurut Gramsci, merupakan kaum intelektual organik. Dibedakan dengan kaum intelektual tradisional yang tunduk dan patuh terhadap dominasi yang hegemonik yang menjadi bagian darinya. Sebaliknya, kaum intelektual organik sebagai bagian tradisi-tradisi pinggiran yang menjalankan tugas untuk membangkitkan dan menyadarkan kaum subaltern dari dominasi yang hegemonik. Dengan itu, dalam wacana kesejarahan, kaum intelektual organik bertugas untuk mendekonstruksi dan merekonstruksi sejarah yang disembunyikan dan kebenaran yang hilang dari sejarah kaum subaltern untuk jangan sekali-kali meninggalkan sejarahnya.
Lebih lanjut menurut Azyumardi Azra, dalam konteks historiografi dan sejarah Islam, kajian sejarah subaltern perlu diperhatikan lebih mendalam untuk merajut benang-benang kusut kenestapaan tradisi-tradisi pinggiran Islam. Karena menurutnya historiografi dan sejarah islam hanya berpusat pada arus utama dan hampir tidak pernah berbicara tentang orang-orang dan kelompok marjinal dan terpinggirkan. Lebih-lebih Al-Qur’an berbicara tentang mustadh’afin. Ataupun sahabat Nabi, Bilal bin Rabah yang dalam konteks ini sebagai kaum subaltern. Tabikkk!!!